Minggu, 06 Oktober 2013
16.51 //
“Saya mahasiswa Bapak, saya mengagumi Bapak, saya belajar banyak dari Bapak, tetapi sekarang saya tak percaya kepada Bapak, Bapak telah membuat vonis yang tidak adil, ”demikian SMS yang saya terima dari seorang pengacara di salah satu kabupaten di Jawa Barat, tak lama setelah pada suatu sore saya mengucapkan vonis dalam sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada).
Saya mengenal nama pengacara itu sebagai bekas mahasiswa saya yang menjadi aktivis di kampus pada awal 1990-an di Yogyakarta. Belakangan ini saya sering melihat wajah dan pernyataan-pernyataannya yang keras di televisi maupun di berbagai media cetak mengenai pelanggaran atas hakhak tenaga kerja. Saat saya menjadi anggota DPR,dia juga sering datang ke DPR menyampaikan berbagai pengaduan mengenai perlakuan terhadap tenaga kerja kita. “Ada apa, Mas, kok marahmarah begitu? Apakah kamu sehat- sehat saja?” tanya saya melalui SMS.Kemudian dia menelepon saya sambil meminta maaf karena merasa “telanjur”mengirim SMS dengan emosional. |
|
Rupanya dia menjadi kuasa hukum dari salah satu pasangan calon kepala daerah yang gugatannya baru saja ditolak (dikalahkan) dalam sengketa hasil pilu kepala daerah di MK. Dengan berapi-api dia mengatakan, pihaknya telah membuktikan bahwa pemenang pilkada yang digugatnya itu curang dan melakukan politik uang yang bisa dibuktikan di persidangan MK,tetapi MK tak membatalkannya sebagai pemenang pilkada.
Rupanya dia menyangka bahwa setiap pelanggaran atau kecurangan dalam pilkada yang bisa dibuktikan di persidangan harus divonis dengan pembatalan hasil pilkada sehingga pilkada harus diulang. Kepadanya saya jelaskan bahwa tak semua pelanggaran yang bisa dibuktikan di persidangan harus divonis dengan pembatalan hasil atau pengulangan pilkada, sebab tak semua pelanggaran yang bisa dibuktikan itu sekaligus bisa dibuktikan memengaruhi hasil pemeringkatan perolehan suara dalam pilkada.
Dalam pengalaman,banyak sekali kecurangan yang bisa dibuktikan telah terjadi, tetapi tak bisa dibuktikan telah berpengaruh terhadap hasil pilkada. Misalnya banyak pihak yang bisa membuktikan bahwa pasangan pemenang telah melakukan politik uang dan politik sembako dengan membagi-bagi amplop berisi uang atau parcel berisi sembako, tetapi mereka tak bisa membuktikan bahwa mereka yang menerima uang atau sembako itu benar-benar memilih pasangan calon yang memberi uang atau sembako.
Bagaimana fakta yang seperti itu bisa dijadikan dasar untuk membatalkan hasil pilkada? Apalagi dalam faktanya permainan seperti itu banyak dilakukan juga oleh pihak-pihak yang kalah. Ada juga pihak yang bisa membuktikan terjadinya kecurangan sehingga ada kesalahan distribusi,misalnya sebesar 5.000 suara dalam hasil rekapitulasi suara oleh KPU, padahal selisih kekalahannya mencapai 70.000 suara.
Tentu saja adanya bukti kecurangan 5.000 suara tak bisa membatalkan hasil pilkada yang telah membuktikan kemenangan 70.000 suara,sebab seumpama 5.000 suara yang dicurangkan itu dibatalkan atau bahkan diberikan kepada penggugat, tetaplah peringkat perolehan suara takkan bisa berubah. Itulah sebabnya MK tak selalu membatalkan hasil pilkada meskipun ada bukti pelanggaran yang ditemukan di persidangan.Yang bisa membatalkan hasil pilkada adalah pelanggaran yang bisa dibuktikan memengaruhi suara secara signifikan.Mengapa?
Kalau hal-hal yang bisa dibuktikan tidak signifikan seperti itu dijadikan dasar untuk membatalkan hasil pilkada, maka takkan pernah ada pilkada yang sah dan selesai, sebab selalu ada pelanggaran-pelanggaran yang seperti itu pada setiap pilkada,baik berupa politik uang atau sembako maupun berupa kecurangan dalam penentuan hasil pilkada. Itulah sebabnya UU mengatur bahwa hasil pilkada yang bisa dibatalkan adalah adanya bukti pelanggaran atau kecurangan yang “signifikan” memengaruhi hasil penghitungan suara,bukan asal terbukti.
Jika sebuah ukuran signifikasi kesalahan secara kuantitatif tak bisa dibuktikan (misalnya dengan kesalahan hitung yang fixed),maka signifikasi itu diukur dari pelanggarannya, apakah terstruktuktur, sistematis, dan masif (TSM) ataukah hanya sporadis. Kalau ternyata TSM, maka pelanggaran itu dianggap signifikan dan hasil pilkada bisa dibatalkan, tetapi kalau hanya sporadis, maka dianggap tak signifikan dan hasil pilkada tak bisa dibatalkan. Kalau begitu,apakah pelanggaran atau kecurangan “yang terbukti” tetapi “tidak signifikan” lalu tidak bisa dikenai sanksi hukum?
Tentu saja,kecurangan dalam bentuk apa pun seperti politik uang, politik sajadah, politik sarung, pemalsuan data, dan sebagainya tetap dilarang dan diancam dengan sanksi hukum. Tapi jika pelanggaran-pelanggaran itu tidak signifikan meskipun terbukti,maka yang menghukum bukan MK, melainkan peradilan umum (terutama peradilan pidana) atau Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Haruslah dipahami bahwa MK hanya mengadili hasil pemilu/pilkada, bukan mengadili pidana atau administrasi pemilu/pemilukada.
Makanya pada setiap vonis MK selalu disebutkan terbukti adanya pelanggaran atau kecurangan, tetapi jika bukti-bukti pelanggaran atau kecurangan itu tidak signifikan bagi perubahan hasil pilkada, maka oleh MK diminta agar kasusnya diproses ke perad
ilan umum atau PTUN.
Penegak hukum harus memproses temuan di persidangan MK itu di peradilan umum atau PTUN secara tegas, tak boleh sungkan-sungkan; agar pemilu/pilkada tidak mengotori kehidupan konstitusi dan demokrasi yang sedang kita bangun.
Guru Besar Hukum Konstitusi |
|
0 komentar