Cinta Tulus Shelly Untuk Rashky
Selasa, 30 Juli 2013
11.33 //
Oleh : Sandi Kurnia Hakiim
Ketulusan cinta kadang membuat hati yang mudah terluka menjadi sekeras baja. Meski disakiti berulang kali, namun cinta itu selalu tumbuh berkembang menjadi kasih sayang. Pengorbanan demi pengorbanan dilakukan untuk orang yang disayang. Tak peduli apa yang orang lain katakan. Rasa cinta yang tumbuh secara tiba-tiba selalu terjadi dimana saja, dan kapan saja. Sama seperti rasa cintaku yang kini tlah berubah menjadi sayang. Rasa itu datang ketika aku dan dia melaksanakan ujian semester satu, dikelas delapan.
Selasa pagi aku berangkat sekolah bersama Ayah. Hari ini hari kedua ujian semester satu. Materi yang diujikan adalah Matematika dan Bahasa Jawa. Tiba di sekolah, aku bertemu Vera dan Icha didepan kelas. Mereka sedang berusaha menghafalkan rumus. Aku pun menyapa mereka, “Vera, Icha…” sapaku.
“Hey, Shel.” Balas mereka serempak.
Selanjutnya aku, Vera, dan Icha masuk ke ruang ujian. Kebetulan kami semua satu ruangan, sehingga kami tidak terpisahkan. Bel tanda masuk ujian pun berbunyi. Guru pengawas pun memasuki ruangan. Setelah berdoa, soal dan lembar jawab pun dibagikan. Kami pun segera mengerjakan soal-soal itu.
Ketika waktu mengerjakan tinggal sepuluh menit. Aku memanggil Rashky, “Ras, Rashky…” panggilku dengan nada pelan. Rashky pun mendengar, aku segera bertanya satu nomor yang sedari tadi membuatku pusing. “Nomor 21 A/C…??” tanyaku. Rashky menjawab A. Karena ragu aku pun bilang alasanku memilih C dibanding A, namun Rashky ngotot menjawab A. Akhirnya perdebatan kecil pun terjadi, “Aku A…” jawab Rashky.
“Gimana bisa kan sudutnya besar yang C” tanyaku lagi.
“Ya bisa aja kan ini segitiga tumpul, bukan lancip…” tambahnya.
“Tapi kan kalo dihitung jawabannya C bukan A” ucapku ngotot.
“Weh… yo gak bisa… kan bukan pake hitungan… tapi logika….” ucapnya sama-sama ngotot.
“Asshhh… dibilangin ngeyel…”
“Kamu thu yang ngeyel…”
Kami tak berdebat lagi, mengingat waktunya tinggal sedikit. Namun, ketika aku akan menulis jawabanku, malah pilihan A yang ku coret. Aku tidak sempat mengganti jawabanku karena bel sudah berbunyi. Ketika Rashky lewat disampingku, dia tidak sengaja melihat jawabanku. Akhirnya dia menyindirku, “Katanya salah, kok malah dipilh sih?” ucapnya sambil keluar kelas. Sejak itu aku mulai menaruh hati pada Rashky.
Aku menceritakan perasaanku pada Vera dan Icha, karena mereka bisa menjaga rahasia. Tanggapan Vera dan Icha sama-sama positif, namun Icha mengingatkanku agar tidak terlalu mengharapkan dia, “Tapi, Shel. Kamu jangan terlalu mengharapkan dia, jangan sampai kamu sakit hati karena dia…” tukas Icha.
“Iya Icha…”
Bel pulang pun berbunyi. Aku melihat Chirly keluar kelas, aku segera menghampirinya. “Hey, Chir. Boleh tanya sesuatu gak?” tanyaku.
“Mau tanya apa, Shel?” jawabnya.
“Kamu masih suka ama Rashky?” tanyaku sedikit ragu.
“enggak kok, emangnya kenapa, Shel?” tanya Chirly.
Aku pun menceritakan perasaanku, namun dia harus bisa jaga rahasia. Chirly pun berjanji tidak akan menceritakan kepada siapa pun. Saat di gerbang sekolah, Chirly sudah dijemput duluan. Tiba-tiba Icha datang memanggilku, “Shelly….”. Aku berbalik, Icha menarikku kebawah pohon, dan bertanya. “Kamu tadi cerita sama Chirly ya, tentang kamu suka sama Rashky?” tanyanya bingung. Aku hanya mengangguk dan bingung akan sikap Icha. “Kenapa kamu cerita sama Chirly? Dia kan mulutnya ember..?” tanya Icha lagi.
“Ya aku tapi kan dia udah janji gak bakal bialng ke siapa-siapa…” balasku santai namun hatiku risau.
“Semoga aja dia nepati janjinya…” ucap Icha. Aku pun mengangguk lagi.
Keesokkan harinya aku berangkat sekolah seperti biasa. Namun, betapa terkejutnya aku, ternyata gossip tentang aku suka sama Rashky sudah menyebar. Aku yakin Rashky pun sudah mendengarnya. Benar saja, saat ulangan tiba, aku mencoba memanggil Rashky, tapi dia pura-pura tidak mendengar panggilanku. Aku jadi galau sendiri, pikiranku terbang kemana-mana. Isatirahat akhirnya tiba, aku menemui Vera dan Icha. Aku menceritakan semua yang ku alami hari ini. Mereka hanya menyuruhku untuk lebih sabar.
Semenjak gossip itu menyebar, aku sering diledek oleh teman-teman yang lain. Vera dan Icha berusaha memberi semangat kepadaku. Sikap Rashky pun sekarang mulai berbeda, dia lebih menjaga jarak denganku. “Apa aku salah mencintai seseorang? Dan seseorang itu adalah Rashky seorang ketua kelas dan ketua osis disekolahku…” gumamku dalam hati. Aku bersama Vera dan Icha duduk didepan ruang guru. Melihatku melamun, Vera pun menghiburku, “Udah lah, Shel. Mending kamu lupain Rashky aja… daripada kamu sakit hati terus?” ucap Vera
“Bener lho, Shel. Dia itu cowok yang gak punya hati…” tambah Icha.
Aku pun memikirkan ucapan Vera dan Icha. Setelah itu, aku menulis surat untuk Rashky. Tapi, Rashky malah memperlihatkan surat itu keseluruh penghuni kelas ketika aku sedang keluar. Dia juga membuang surat itu ke tempat sampah, namun berhasil dipungut oleh Vera, dan dikembalikan lagi ke Rashky. Ketika aku masuk ke kelas, aku merasa anak-anak yang lain sedang menggunjingkanku. Aku kembali ke tempat dudukku, dan menemukan surat yang kuberikan ke Rashky ada di laci mejaku. Saat ku buka, sakitnya hatiku membaca balasan surat dari Rashky. Vera menghiburku, dan kulihat ia menyembunyikan sesuatu dariku, sesuatu yang telah terjadi ketika aku keluar kelas.
Sudah lebih dari tiga bulan aku dan Rashky saling berjauhan. Namun perasaan dihatiku tak pernah berubah. Aku hanya sedikit menjauh darinya, karena aku tidak ingin terluka lagi. Rashky sekarang juga sudah sedikit berubah, beberapa kali dia memanggilku. Tapi karena salah tingkah, aku malah membentaknya. “Shel, Shel… Ponsel…” ledek Rashky.
“Kalo gak bisa nyebut nama, gak usah manggil-manggil…” bentakku.
“Shel, Shel… Shelly…” ulangnya.
“Ngapain, manggil-manggil lagi? Kurang kerjaan…” bentakku lagi, namun dalam hatiku aku bahagia karena ia memanggilku. Kejadian itu terus terjadi berulang kali, dan membuatku semakin sayang padanya tanpa memikirkan ia pernah menyakiti hatiku. Vera dan Icha pun tetap mengingatkanku agar tidak jatuh untuk kedua kedua kalinya.
Seminggu lagi penerimaan raport semester dua kelas delapan. Sebelum raportan ada kegiatan perkemahan untuk siswa kelas tujuh. Karena aku, Vera, dan Icha termasuk dewan penggalang disekolahku, maka kami ikut serta dalam perkemahan itu. Sementara, siswa kelas delapan mengikuti berbagai macam lomba yang diadakan di sekolah. Aku pun tidak bisa bertemu Rashky selama empat hari. Namun ternyata, aku menemukan cinta lain saat diperkemahan. Aku jatuh hati pada adik kelasku yang kebetulan dipasangkan denganku dalam pelantikan penggalang. Alhasil, aku pun mulai meluapakan Rashky. Aku malah mulai pendekatan dengan Ary setelah pelantikan. Vera dan Icha yang mengetahui aku telah berpaling pun turut senang. Mereka juga berharap Ary tidak akan pernah menyakitiku.
Empat hari setelah pengambilan raport, dewan penggalang mengadakan kegiatan gowes ke rumah salah satu pembina pramuka kami di Maguwoharjo. Dalam acara ini Vera tidak bisa ikut, karena dia sedang dirumah neneknya. Hanya aku dan Icha serta beberapa dewan penggalang lainnya. Tak kusangka Ary juga ikut dalam acara ini. Tepat pukul delapan, ketika semua telah berkumpul, kami pun berangkat. Aku dibarisan belakang bersama Icha, Ary, dan Marsel. “Ry, DP cowok yang laen kemana? Kok gak ikut?” tanyaku membuka pembicaraan.
“Gak tau… Vera kok juga gak ikut?” tukas Ary.
“Owh… dia lagi dirumah neneknya…” jawabku santai. Kami terus bersepeda hingga sampai dirumah Kak Hendra. Disana aku dan Ary semakin akrab dan sering bercanda. Hingga saatnya pulang pun aku masih terus bercanda dengan Ary. Kami berpisah dipertigaan jalan kerumah masing-masing.
Kedekatanku dengan Ary sekarang semakin telihat, aku pun tak pernah memikirkan Rashky lagi. Namun ternyata, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Beberapa hari kemudian aku mengetahui sesuatu yang sangat mengejutkan. Ternyata aku hanya dijadikan pelampiasan oleh Ary. Begitu Ary mengetahui cewek yang dia suka putus dengan pacarnya, Ary tak pernah lagi menghubungiku. Hatiku sakit, namun aku bersyukur, karena semua ini belum terlambat. Aku belum terlalu sayang sama Ary. Dan setelah kejadian itu hatiku kembali kosong, namun tak sepenuhnya. Ada suatu perasaan yang sepertinya masih tersimpan baik dalam hatiku. Entah perasaan apa, dan untuk siapa. Aku pun bingung akan perasaan itu. Vera dan Icha pun selalu memberi semangat dan selalu menemani suka dukaku. Mereka dialah teman terbaikku.
Sudah hampir dua bulan aku duduk dikelas sembilan ini, namun hubunganku dengan Rashky masih seperti dulu. Setiap Senin pagi, aku berangkat lebih pagi karena ada upacara. Ketika tiba dikelas, aku terkejut, kenapa Rashky belum berangkat sekolah. Menurut cerita teman-teman, Rashky mengalami kecelakaan ketika hendak pulang dari rumah saudaranya. Kata sahabat terdekatnya, Rashky mengalami patah tulang ditangan kirinya. Entah mengapa, ketika mendengar kabar itu, aku merasa kasihan dan sepertinya aku masih sayang dengan Rashky. Aku pun menuliskan beberapa rangkuman ketika dia tidak masuk, serta membawkan buah-buahan ketika menjenguk Rashky di rumah sakit. Setiap hari aku selalu cari alasan agar bisa kerumah Rashky. Lambat laun aku mulai menyayangi Rashky lagi. Namun aku berbohong pada Rashky. Aku bilang jika aku hanya sekedar peduli dengannya, dan sudah tidak menyukainya lagi.
Dan sejak aku berkata itu, Rashky mulai menerima kehadiranku lagi dalam hidupnya. Kebetulan ada tugas IPS untuk membuat presentasi tentang negara maju dan berkembang. Aku presentasi negara Jerman, sementara Rashky presentasi negara Mesir. Karena waktu presentasi dimulai senin besok, maka siang ini sepulang sekolah, aku, Vera, dan Icha pergi kerumah Rashky. Tiba dirumahnya, aku segera memberi salam dan mengetuk pintu. Ternyata Rashky sendiri yang membuka pintunya. Kami pun dipersilahkan masuk. Saat Rashky asyik mengerjakan tugasnya dengan notebookku, aku tak sengaja melihat foto yang terpajang didinding. Tak kusangka Rashky sangat mirip dengan almarhum ayahnya. Karena Rashky sudah selesai mennggunakan notebookku, kami pun pamit pulang. Ketika membereskan isi tasku, aku tak menyadari jika buku catatan fisikaku tertinggal dikursi.
Sudah beberapa hari Rashky belum masuk sekolah. Dan aku juga sudah jarang main kerumahnya. Pagi ini aku berangkat tanpa semangat. Ketika tiba didepan kelas, senyumku mengembang saat melihat Rashky sudah duduk dibangkunya. Aku bersikap pura-pura tak peduli dengannya, dan aku memilih keluar kelas bersama Vera dan Icha. “Ver, Cha. Kita ke kelas tujuh, yuk…” ajakku. Mereka pun mengangguk dan ikut keluar kelas bersamaku. “Kok kamu malah keluar, Shel? Kan didalem ada Rashky?” tanya Vera.
“Kamu kayak gak tahu Shelly aja, Ver. Dia kan Jaim-jaiman sama Rashky…” timpal Icha.
“Kata siapa?” jawabku balik tanya.
“Alah, iya kan….?” tambah Icha. Aku hanya tersipu malu. Tak berapa lama kemudian, bel masuk berbunyi. Kami pun segera bangkit dari tempat duduk kami. Saat sampai dikelas, Rashky membuka tasnya dan memberikan buku catatan fisikaku, “Nih, Shel…” ucapnya pelan. Aku mengambilnya dan bertanya kenapa buku catatanku bisa ada padanya, “Kok bisa ada sama kamu?” tanyaku heran.
“Kemarin, pas kamu kerumahku, itu ketinggalan dikursi.” Tambahnya.
“Oh.. ok, makasih…” jawabku.
Pelajaran pun dimulai, kelas telah kembali seperti dulu. Seperti saat Rashky belum kecelakaan, karena dia tak pernah berubah. Dia masih seperti Rashky yang slalu ku sayang.
Seminggu lebih, Rashky berangkat sekolah. Suasana kelas pun semakin ramai karena canda tawanya. Kamis pagi aku sudah sampai disekolah. Jam pelajaran pertama adalah Fisika, kami praktek di Laboratorium baru. Mulanya semuanya lancar, biasa-biasa saja. Akan tetapi, saat jam Fisika hampir habis, salah satu anggota kelompokku bertanya pada kelompok Rashky. Tanpa diduga, Rashky menjawab, “kelompokmu kan pintar-pintar, ngapain tanya kesini?” ucapnya seraya berpaling. Kelompokku merasa kelompok Rashky itu pelit ilmu, dan aku berniat akan membalasnya. Saat pelajaran bahasa jawa, kebetulan ada ulangan. Karena soal-soalnya susah, maka banyak teman-teman yang membuka buku termasuk aku. Rashky memanggilku hendak meminjam buku, “Shel, pinjam bukumu dong…” ucapnya pelan. Aku pura-pura tak mendengar, “Apa ini saatnya aku bales yang tadi…” pikirku. Diapun terus memanggilku dan ngomel macam-macam namun aku tidak peduli. Namun, ada satu kalimat yang membuatku berhenti mengerjakan soal, “Wuuu… pintar kok gak bagi-bagi… pintar kok cuma buat diri sendiri…” tukas Rashky. Aku pun segera membalikkan tubuhku,
“Yang pelit duluan siapa? Giliran dipelitin aja, ngomel…” balasku.
“Alah… kalau pelit, pelit aja. Punya ilmu thu jangan buat diari sendiri….” tegasnya.
Aku tidak bisa menahan air mataku, Vera pun segera menghiburku. Namun tangisku tambah ketika aku mengingat kejadian di kelas delapan, ketika dia memperlakukanku seperti orang yang tak pernah dia kenal Bagaimana bisa dia mengatakan aku punya kepandaian hanya untuk diriku sendiri? Sedangkan waktu dia sakit aku yang selalu merangkumkan tugas dan materi untuknya. Aku rela catatanku hilang hanya untuk dia. Dan aku rela uangku habis untuk pulang pergi dan membelikan oleh-oleh ketika kerumahnya. Tugas sekolah pun aku bantu mengerjakan, namun apa balasan Rashky untukku? Ini adalah kedua kalinya Rashky membuat cekungan dihatiku. Tapi aku juga tidak bisa membenci Rashky, karena aku sangat menyayanginya.
Berkat bantuan Vera dan Icha, aku sedikit berubah lebih ceria setelah tadi menangis terus. Namun suasana kelas terasa sepi, karena aku dan Rashky tidak lagi saling menyapa. Jum’at pagi aku membawa tasku yang berisi penuh seragam pramuka. Aku, Vera dan, Icha harus mengajar pramuka kelas delapan sore ini. Sehingga kami tidak pulang kerumah terlebih dulu. Kami menunggu di sekolah sambil mengerjakan tugas sekolah. Sampai didepan kelas aku tidak langsung masuk, melainkan memanggil Vera dan Icha agar keluar kelas. “Ver, Cha… ke tempat biasa…” panggilku dengan bahasa isyarat. Mereka pun keluar kelas dan kami segera menuju tempat yang biasa kami duduki. “Kenapa gak dikelas aja, Shel?” tanya Vera.
“gapapa, males ketemu Rashky aja…” jawabku singkat.
“owalah, pantes…” ucap Vera.
Tak berapa lama kemudian kami kembali ke kelas. Aku masih tak menganggap ada Rashky di kelas. Sampai jam terakhir pun aku atau Rashky tidak saling tegur sapa. Aku mengajar pramuka seperti biasanya. Ketika sudah saatnya pulang, ada satu sms masuk. Ternyata dari Rashky, dia meminta maaf atas emosinya… dia tidak ingin punya beban. Aku pun membalas sms Rashky dan memaafkannya.
Keesokannya semua telah kembali seperti sebelum aku marahan dengan Rashky. Dan rasa sayangku ke Rashky pun selalu tumbuh berkembang setiap detikku bersamanya. Sudah hampir lebih dari dua bulan, hubunganku dengan Rashky semakin dekat. Akan tetapi, aku lebih memilih untuk menyimpan dalam-dalam rasa sayangku agar lebih tumbuh sempurna. Entah, apa Rashky mengetahui apabila aku masih sangat menyayanginya. Aku hanya berharap, aku dapat menyimpan rasa ini sampai aku dan Rashky kembali dipertemukan suatu hari nanti. Dan semoga Allah mengabulkan doaku ini. “Rashky… tunggu sampai waktunya tiba…. karena kamu adalah Cinta Pertamaku…” teriakku dalam hati.
**SELESAI**
0 komentar