Penguatan Pengawasan Pemilu
Jumat, 19 Juli 2013
21.21 //
Oleh : Murlinus, SH., MH
Jika ditelaah secara yuridis dari yang diatur dalam undang-undang
tentang Penyelanggara Pemilu, ada beberapa persoalan yang mendera
lembaga pengawas tersebut.
Pertama, Kewenangan sebagaimana yang diatur dalam
undang-undang sangat kurang mendukung kinerja optimal Panwaslu.
Kewenangan yang ada selama ini hanyalah sebagai lembaga pemberi stempel
atau pengirim persoalan saja. Menurut Hidayat Nur Sardini,(Mantan Ketua
Bawaslu Pusat), kedepan Bawaslu dan Panwaslu harus dipegangi semprit
bukan hanya sekedar sebagai wasit atau hakim garis saja, sementara
kewenangan untuk memutuskan sanksi pelanggaran pemilu ada di KPU dan
Kepolisian. Terkait dengan kewenangan ini, Topo Santoso juga menegaskan
penguatan Bawaslu/Panwaslu dengan penambahan kewenangan seperti hak
untuk menyelidiki atau melakukan penyidikan terhadap pelanggaran, sulit
dilakukan karena Bawaslu/Panwaslu tidak didesain untuk memiliki
kewenangan yang demikian.
Keberadaan Bawaslu/Panwaslu dengan kewenangan yang demikian memang
sangat sulit untuk dapat bekerja secara optimal. Lebih-lebih jika
lembaga terkait dengan penanganan pelanggaran pemilu tidak bekerja
secara sinergis masyarakat akan begitu saja menimpukkan kelemahan
penanganan pelanggaran pemilu kepada Bawaslu atau Panwaslu tanpa mencoba
memahami persoalan yang sebenarnya. Persoalan pelanggaran pemilu
merupakan persoalan yang pelik dan memiliki sensitifitas yang besar yang
menuntut ketulusan, kerja keras dan juga pemahaman secara sosiologis
atas pelaku dan budaya di masyarakat dalam penanganannya.
Kedua, penguatan Panwaslu provinsi dan kabupaten/kota yang
selama ini hanya sebagai lembaga yang ad hoc menjadi lembaga yang
permanen seperti KPU provinsi dan kabupaten/kota. Lembaga yang bersifat
ad hoc dalam bekerjanya akan menghadapi persoalan yang komplek. Dari
aspek personal para anggota rata-rata para muka baru. Mereka membutuhkan
waktu yang cukup untuk dapat memiliki pemahaman untuk penyamaan
persepsi, visi, misi dan tujuan serta mekanisme kerja. Padahal tuntutan
tugas sudah sangat mendesak. Kesulitan ini juga dikarenakan latar
belakang mereka sangat heterogen.
Dengan kedudukan sebagai lembaga yang tetap kemungkinan besar
problematik tersebut dapat dihindari. Selain itu jika dengan
ditetapkannya Panwaslu sebagai lembaga yang permanen akan menimbulkan
dampak psikologis bagi kesetaraan dengan KPU setempat oleh para
anggotanya. Para anggota Panwaslu akan dapat bekerja dengan
kesinambungan program dan kondisi personal yang stabil karena lamanya
keberadaannya.
Ketiga, persoalan rekrutmen anggota Panwaslu. Rekrutmen
anggota Panwaslu ke depan seharusnya dilakukan sendiri oleh Bawaslu bagi
Panwaslu provinsi dan Panwaslu provinsi bagi anggota Panwaslu
kabupaten/kota. Jika hal ini dapat terjadi maka anggota Panwaslu
terpilih minimal akan dapat memenuhi kualifikasi personal, sosial,
intelektual yang dibutuhkan sebagai anggota Panwaslu.
Selama ini rekrutmen terhadap calon anggota Panwaslu kabupaten dan kota
misalnya dilakukan oleh KPU setempat. Proses seleksi administratif
selama ini dilakukan oleh KPU setempat dengan hanya mendasarkan pada
kapasitas intelektual berupa hasil tes. Setelah ditetapkan oleh KPU
sejumlah peserta yang ditetapkan kemudian dilanjutkan seleksinya oleh
Panwas provinsi untuk melihat kapasitas personal, kelembagaan serta
komitmen dalam membangun Panwaslu yang mandiri dan profesional ke depan.
Ke depan seleksi harus sepenuhnya dilakukan oleh Panwaslu sendiri secara
berjenjang. Jika dalam proses seleksi pihak selektor tidak konsisten
dan menyalahgunakan kewenangan ke depan akan sangat nampak dari kinerja
Panwaslu yang telkah direkrut sendiri. Karena merekalah yang sangat
paham akan kebutuhan dan kapasitas anggota Panwaslu yang direkrut.
Keempat, harus ditegaskan hubungan antar tingkatan Panwaslu tersebut. Selama ini
ketentuan dalam undang-undang tidak mengaturnya. Setiap tingkatan
Panwaslu tentu akan menampilkan gaya dan kinerja yang berbeda-beda yang
jika tidak sesuai dengan harapan dan tuntutan justru akan melemahkan
Panwaslu itu sendiri. Sebagai bentuk dari akuntabilitas publik kedepan
Bawaslu/Panwaslu dari setiap tingkatan yang jika kelak dipermanenkan
dapat menjadi lembaga objek gugatan terutama terkait dengan keputusan
yang dikeluarkannya sebagaimana yang terjadi di KPU selama ini.
Dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden pada Pasal 252 ada ketentuan jika Pengawas Pemilu
Lapangan tidak melakukan pengawasan penyerahan kotak suara tersegel
kepada PPK dan Panwaslu kecamatan yang tidak mengawasi penyerahan kotak
suara tersegel kepada KPU kabupaten/kota diancam dengan pidana penjara.
Tugas pengawasan ini merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan
oleh mereka sebagai mana ditentukan dalam Pasal 139 ayat (6)
Undang-undang Pilpres. Dalam undang-undang Pemilu anggota DPR, DPD, dan
DPRD yakni UU No 10 Tahun 2008 pada Pasal 310 juga diatur ancaman
hukumam bagi Ketua dan anggota Bawaslu dan jajaran Pengawas Pemilu di
tingkat bawahnya yang dengan sengaja tidak menindaklanjuti temuan
dan/atau laporan pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU dan
jajaran penyelenggara di bawahnya.
Keberadaan Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) dan Panitia Pengawas Pemilu
Kecamatan (Panwaslucam) selama ini juga tidak jelas hubungannya dengan
Panwaslu di atasnya. Kedepan dua tingkatan pengawas ini sebaiknya
diposisikan sebagai bagian/perangkat pendukung Panwas kabupaten dan
kota. Salah satu alasanya terkait dengan level lembaga pemegang semprit
dalam pelanggaran pemilu, yaitu KPU dan Kepolisian. Sedangkan Panwaslu
kabupaten dan kota ke atas memiliki hubungan yang herarki. Belum
optimalnya tugas pengawasan Bawaslu dan Panwaslu tidak dapat semata-mata
ditimpukkan ke lembaga tersebut. Tidak sedikit kasus pelanggaran pemilu
yang berhasil ditangani dengan meneruskan ke lembaga yang berwenang.
Hanya saja memang belum sebanding dengan banyaknya pelanggaran yang
terjadi. Untuk itulah peran serta masyarakat, partai politik,
pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, pemantau dan juga penegak hukum
diharapkan memberikan sumbangsihnya sesuai dengan peran, tugas dan
kewenangannya masing-masing. Bawaslu/Panwaslu bukanlah lembaga yang
memiliki kapasitas (kewenangan) seperti yang diharapkan oleh publik.
Bawaslu/Panwaslu juga harus diberi ruang yang cukup serta perlindungan
yang memadai dalam melaksanakan kewenangannya. Para anggota
Bawaslu/Panwaslu harus terbebas dari segala tekanan dan ancaman baik
fisik maupun psikis dari pihak yang sedang ditangani. Budaya hukum yang
demikian harus mulai dibangun melalui peserta parpol beserta
simpatisannya.
Murlinus, SH., MH
Dosen Hukum Administrasi Negara STIA-NUSA
0 komentar