Politik Komunal di Negara Demokrasi
Senin, 19 Agustus 2013
20.31 //
Oleh
: Agung Iranda
Sejak Reformasi 1998, Indonesia mengalami satu fase
yang kurang menguntungkan, terutama yang berkaitan dengan demokrasi. Di mana
bentuk nyata yang dirasakan rakyat berupa hajat pemilu, serta diberlakukannya
pemilihan kepala daerah di masing-masing tempat. Jika kita menyimak kembali
tujuan reformasi, ada beberapa hal yang harus menjadi patokan, pertama bahwa
reformasi adalah usaha untuk membebaskan rakyat dari kezaliman penguasa, sikap
sewenang penguasa tertentu yang mengutamakan kepentingan pribadi di atas
pondasi kekuasaan adalah kutukan bersama. Yang kedua bahwa reformasi menuntut
ke ikutsertaaan rakyat secara aktif dalam rangka membangun cita-cita bersama,
terutama berkaitan dengan keadilan dan kesejahteraan rakyat, yang merupakan
slogan penting dari Khebinekaan NKRI yang tetap utuh hingga kini.
Fenomena politik yang berkembang di tengah masyarakat
saat ini, justru menunjukkan bentuk kontradiktif dari nilai-nilai demokrasi.
Hal ini terlihat jelas dalam hajat pemilukada, di mana terjadi pengelompokkan
rakyat dengan dalil kebebasan berekspresi, sehingga rakyat terbagi-bagi ketika
menentukan siapa jagoan yang pantas memimpin mereka. Masing-masing kelompok
mempunyai andalan dan kepentingannya sendiri.
Kelompok itu bisa berupa kumpulan desa, kecamatan, suku, ras atau bahkan
agama.
Sikap Komunal yang menjangkiti masyarakat bukan
tanpa alasan, ada beberapa pertimbangan mengapa rakyat cendrung memilih
pemimpin dari kalangan desa, suku, ras, dan agamanya sendiri. Pertama, secara
sosio emosional rakyat cendrung lebih dekat dengan orang yang satu identitas
dengan dirinya. Kedua secara rasional, bahwa pemimpin yang berasal dari
kalangan tertentu, jika terpilih akan lebih
terdorong berbuat banyak terhadap kalangan tersebut. Ketiga, kalangan yang
mempunyai basis populasi terbanyak relatif akan lebih unggul di dalam
pemilukada.
Sebenarnya
jika kita cermati lebih detail lagi dalam kerangka demokrasi, ini bukanlah
bentuk penyimpangan. Hanya saja dalam pelaksanaannya, pemilukada kerap melahirkan
jagoan yang hanya berbuat untuk kepentingan kelompok sendiri. Imbasnya terjadi
penyalahgunaan kekuasaan, Penggunaan APBD hanya untuk segelintir orang, hingga
praktek korupsi. . Menurut data kemendagri (2013) terdapat 291
kepala daerah yang terjerat dalam praktek korupsi, diantaranya gubenur 21,
wakil gubenur 7 orang, serta bupati/walikota 197, serta wakil bupati dan wakil
walikota 66 orang selama 9 tahun terakhir.
Hal lainnya terdapat banyak daerah
yang belum siap melepaskan identitas kesukuannya, ini umumnya menyebar merata
di setiap daerah, sebut saja papua, Kalimantan, Sulawesi, sumatera utara, aceh,
minang, sunda, termasuk Kerinci atau bahkan daerah paling majemuk Jakarta
sekalipun tak luput dari intrik-intrik politik komunal, dalilnya beragam dari
suku, agama, ras dan lain sebagainya.
Pemilukada tidak lagi di jadikan
ajang untuk beradu gagasan, visi, dan kematangan dalam mengurus daerah. Justru
lebih banyak menjual popularitas dari sikap komunal tersebut. Jika politik
komunal ini terus ada dan berkembang, dampaknya beragam, dipastikan bahwa dalam
politik komunal membawa kekuasaan ke arah corak pemerintahan oligarki. Artinya
Bupati atau Gubenur terpilih akan memusatkan perhartiannya pada kelompok kecil
yang tidak menyeluruh. mereka lebih
banyak berbuat berdasarkan syahwat kekuasaan pribadi. Ini merupakan akal
primitif yang keliru ditengah egaliterian masyarakat yang merupakan indikator
utama dalam mewujudkan cita-cita
demokrasi. Hal ini senada dengan apa yang dikhawatirkan jacques Ranciere
puluhan tahun silam, tentang negera demokrasi, dengan pemerintahan demokrasi
justru berjalan menuju kekuasaan-kekuasaan oligarkis.
Selain itu Negara dalam hal ini
Kemendagri, KPUD dan elemen terkait, harus mampu menciptakan pemilukada yang
professional, yang mengarah pada terpilihnya pemimpin yang di idamkan secara
bersama, sehingga tidak muncul rasa tidak percaya masyarakat terhadap pemimpin,
minimal rakyat mengerti dan mau turut aktif dalam mendukung program yang
ditawarkan oleh pemimpin mereka, walaupun meraka bukanlah konstituen dan
partisipan pada Pemilukada.
Partai politik juga memiliki peran strategis,
terutama perannya dalam sosialisasi politik, bentuk konkretnya memperkenalkan
teknis atau aturan main yang professional ditengah masyarakat. Selain itu
partai politik harus mengadakan
pendidikan politik yang merata, agar kebekuan masyarakat dalam memahami
demokrasi bisa mencair, dan sikap apatis rakyat bisa berubah menjadi lebih
aktif dan produktif terutama dalam menciptkan kehidupan demokrasi yang harmonis
dan memiliki daya guna dalam kehidupan sehari-hari.
Solusi tepat untuk mengatasi problem
ini adalah perlunya usaha sungguh-sungguh , yang di iringi dengan niat yang
tulus. Para politisi, akademisi, ataupun tokoh masyarakat harus mampu
mendudukkan kembali makna demokrasi, agar tujuannya tidak ambigu, bahwa
demokrasi benar-benar harus melepaskan diri dari nafsu pribadi, menuju
kemaslahatan bersama. Agar tujuan Negara yang terangkai dalam falsafah Negara
berupa pancasila bisa tercapai lewat lokomotif demokrasi yang memang harus
selalu memihak pada rakyat.
Agung
Iranda
Aktivis HMI dan Ketua Umum IPMK
(Kerinci) Yogyakarta 2012
087838846521
0 komentar