Renungan 17 Agustus: Memahami Arti Kemerdekaan
Sabtu, 17 Agustus 2013
12.04 //
Oleh: NANI EFENDI
Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) RI kali ini terasa biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa dalam perayaan 17 Agustus pada tahun 2013 ini. Semuanya berjalan seperti biasa. Mungkinkah makna kemerdekaan telah dilupakan orang? Atau mungkin rakyat telah apatis terhadap negara karena perilaku elit-elit politik yang tidak peduli lagi dengan nasib rakyatnya? Sehingga Negara, oleh rakyat, telah diidentikkan dengan perilaku bejat para elit politik dan penyelenggara negara yang mengelola bangsa ini. Padahal, semestinya, hari kemerdekaan ini kita jadikan momentum bagi setiap elemen bangsa untuk berbenah diri, mengelola bangsa ini ke arah yang lebih baik dengan menjadikan semangat para pejuang 45 sebagai sumber inspirasi dan motivasi.
Meneladani Sikap Para Pahlawan
Dalam sebuah kesempatan, mantan Menteri Penerangan era Orde Baru, Pak Harmoko, pernah mengatakan, “Beda orang dulu dengan orang sekarang ialah, kalau orang dulu berani mati takut malu. Kalau orang sekarang, berani malu, takut mati.” Fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini seakan membenarkan ucapan orang dekat Pak Harto itu. Kita lihat saja, misalnya, berbagai perilaku bejat yang dilakukan oleh para pengelola bangsa ini sudah dapat dikatakan telah berada pada taraf yang mengkhawatirkan. Perilaku korupsi sepertinya sudah menjadi fenomena sehari-hari yang diberitakan oleh media massa. Adakah ini merupakan bentuk perilaku “berani malu takut mati”? Perilaku bejat yang dilakukan oleh pengelola bangsa ini benar-benar telah melukai rasa keadilan (sense of justice) masyarakat. Namun, para penggarong harta negara sepertinya tidak punya malu. Mereka tetap asyik memenuhi pundi-pundi kekayaan pribadi mereka dengan uang yang semestinya diperuntukan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Di tengah-tengah himpitan ekonomi dan kesulitan hidup yang dialami jutaan rakyat Indonesia, para elit dengan bejat dan rakusnya menggarong harta Negara. Harta negara yang semestinya diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dinikmati oleh segelintir mereka yang rakus uang dan jabatan. Semestinya, para pengelola Negara ini menunjukkan sikap tanpa pamrih. Mereka semestinya benar-benar berjuang untuk memperbaiki nasib rakyat.
Sikap tanpa pamrih dan ikhlas berjuang untuk rakyat inilah yang semestinya kita contoh dari para pahlawan bangsa ini, yang pada tanggal 17 Agustus ini kita peringati dan hormati. Para pejuang dan pahlawan bangsa dahulu, berjuang dengan ikhlas tanpa pamrih, tanpa ada interest (kepentingan) untuk memperkaya diri dan mengejar jabatan. Para pahlawan yang telah gugur demi mempertahankan bumi pertiwi ini dari penguasaan penjajah, berjuang dengan penuh keikhlasan. Ketika mereka (para pahlawan) berjuang, mereka tidak pernah berpikir, “Seandainya Indonesia bisa kita rebut dari tangan penjajah, nantinya saya dapat jabatan apa? Saya dapat uang berapa? Apa yang dapat diberikan negara kepada saya? Apakah saya dapat memperoleh kekayaan dari negara?” Tidak! Mereka tidak pernah berpikir kerdil semacam itu. Tetapi, mereka berjuang semata-mata karena keinsyafan jiwa untuk membebaskan bangsa ini dari belenggu penderitaan. Hari ini, sikap pahlawan seperti itu seakan telah sirna ditelan zaman. Hari ini, para pemangku jabatan publik, sebagian besar, hanya memikirkan kepentingan pribadi, keluarga, golongan, dan partainya saja. Jiwa pengabdian yang ikhlas seakan telah kering dari jiwa mereka seiring dengan keringnya air mata rakyat yang diperlakukan secara sewenang-wenang oleh penguasa yang angkuh. Susah mencari pejabat publik hari ini yang benar-benar ikhlas berjuang untuk rakyat banyak.
Merenungkan Kembali
Bung Karno pernah menyatakan, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Apa yang dikatakan Bung Karno memang dapat kita saksikan sendiri saat ini. Memang, hari ini kita tidak lagi menghadapi penjajahan dalam bentuk fisik seperti dulu. Namun, kita masih dijajah dalam berbagai bentuk. Kita sulit memerdekakan bangsa kita dari penjajahan yang dilakukan oleh anak bangsa kita sendiri. Yang kaya menjajah yang miskin, yang kuat menjajah yang lemah, yang pintar menjajah yang bodoh, dan rakyat jelata dijajah oleh yang berkuasa.
Dengan adanya kita memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus setiap tahunnya, semestinya bisa kita jadikan momentum untuk kembali merenungi makna kemerdekaan serta belajar banyak tentang semangat dan keikhlasan yang dicontohkan oleh para pahlawan bangsa ini. Keikhlasan para pahlawan (hero) harus kita tanamkan dalam jiwa seluruh anak bangsa. Di samping itu, kita juga harus memahami arti kemerdekaan (freedom) yang sesungguhnya. Merdeka berarti bebas dari segala bentuk penjajahan, baik fisik maupun pikiran. Bebas dari rasa lapar, bebas dari rasa takut, dan bebas berekspresi dan menyatakan pikiran. Freedom from want, freedom from fear, and freedom of speech. Merdeka berarti bebas dari segala bentuk penindasan, pembodohan, diskriminasi, manipulasi, penghinaan, perlakuan sewenang-wenang, maupun pengekangan hak-hak azasi kita sebagai manusia dalam bentuk apa pun. Tidak ada satu pun yang berhak menjajah kita kecuali Tuhan, Sang Pencipta. Karena hakikatnya, pada saat kita terlahir ke alam ini, setiap kita adalah manusia-manusia yang merdeka. Oleh karena itu, dalam momen peringatan kemerdekaan saat ini, segenap elemen bangsa semestinya merenungkan kembali, apakah kita benar-benar telah merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Dirgahayu Republik Indonesia!
NANI EFENDI
Alumnus HMI dan Pegiat Demokrasi
NANI EFENDI
Alumnus HMI dan Pegiat Demokrasi
0 komentar