Siapakah "Ruling Elite" Indonesia?
Rabu, 14 Agustus 2013
12.53 //
Oleh: ANIES BASWEDAN
Demokrasi adalah kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat. Sebagai slogan, kata-kata Abraham Lincoln itu tampak menarik. Dalam kenyataannya, kekuasaan itu tidak identik dengan rakyat kebanyakan, tetapi dengan kaum elite. Kaum elite adalah bagian dari rakyat yang mengontrol akses pada sumber daya ekonomi dan politik, seperti finansial, informasi, pendidikan, status sosial, dan agama.
Kaum elite biasanya terpolarisasi. Eksistensi demokrasi membuat kompetisi antarpolar elite itu bisa
terjadi dan bisa melibatkan rakyat kebanyakan. Dengan atau tanpa demokrasi,
kaum elitelah yang tetap menentukan. Itu kira-kira pandangan teori elite yang
digagas oleh Pareto, Mosca, Michel
atau Mill.
Intinya, elite yang minoritas
jumlahnya menentukan mayoritas keputusan.
Bagaimana dengan elite di Indonesia? Bagaimana formasi dan sirkulasi
elite Indonesia? Tulisan ini mencoba menjabarkan secara singkat pola umum
formasi elite Indonesia selama 100 tahun terakhir dengan menggunakan kerangka analisis Path Dependence (Historical Institutionalism).
Ruling elite adalah sekelompok elite—di antara kaum elite-elite yang
lain—yang berkuasa menentukan arah kehidupan bangsa dan negara. Tesis yang
diajukan di sini adalah pembentukan ruling elite ditentukan oleh (1) perekrutan anak-anak muda, dan (2) tren utama bangsa.
Tren utama bangsa ini berubah dari satu masa ke masa berikutnya
seiring dengan perjalanan sejarah. Anak-anak muda yang pada masa mudanya
terlibat dalam tren utama yang mewarnai bangsa ini kelak akan menjadi
aktor-aktor di dalam ruling elite. Di sinilah kerangka Path Dependence jadi
relevan dan powerful.
Elite intelektual
Sampai dengan akhir abad 19, jalur
utama formasi elite di Indonesia adalah aristokrasi. Pendirian
sekolah modern (barat) di seluruh Nusantara sejak tahun 1901 membuat tren baru
dan utama. Elite bukan saja berdasarkan keturunan dan kepangkatan sosial,
tetapi juga berdasarkan tingkat pendidikannya. Makin terdidik, makin tinggi
status dan pengaruhnya.
Pada masa ini, para pembawa ilmu pengetahuan (seperti guru) menjadi
referensi dan kebanggaan. Bahkan, anak-anak muda yang memasuki pendidikan
tinggi disebut "mahasiswa"
bukan sekadar siswa. Anak-anak muda yang masuk ke dunia pendidikan di
periode 1900-1940-an ini kemudian berkenalan dengan ide-ide politik modern dan
menjadi bagian dari gerakan global melawan kolonialisme.
Pada periode ini pendidikan menjadi tren utama bangsa ini dan kunci
utama untuk meraih sukses. Dari pendidikan modern ini terbentuklah elite intelektual yang jadi motor pergerakan
nasional, seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Ketika Indonesia meraih
kemerdekaan, kaum intelektual ini menjadi ruling elite pertama di negeri ini.
Elite militer
Penjajahan Jepang dan Perang Dunia II membentuk setting
mempertahankan kemerdekaan melalui kekuatan militer. Res- pons militer Belanda
(dan Sekutu) makin merangsang reaksi kolektif dan gelora mempertahankan
kemerdekaan secara militer. Laskar dan milisi menjamur di segala penjuru
Nusantara.
Tren utama bangsa pada masa itu adalah mempertahankan kemerdekaan
dan kesatuan teritorial bangsa. Saat itu terjadi perekrutan besar-besaran di
kalangan anak-anak muda dengan satu syarat: berani perang. Terlebih, relokasi
ibu kota ke Yogyakarta membuat anak-anak
muda di kawasan itu—seperti Soeharto dan generasinya—memainkan peran sentral.
Dalam perjalanannya, anak- anak muda ini kemudian menjadi
aktor-aktor penting di tubuh Angkatan Darat. Dan, ketika konflik politik di
tahun 1960-an berakhir dengan kemunculan TNI AD di arena kekuasaan, muncul pula
ruling elite baru Indonesia. Ruling elite bukan lagi dari kalangan intelektual
politisi, tetapi perwira Angkatan Darat yang di dalamnya dipenuhi oleh para
bekas pejuang militer masa perang kemerdekaan. Perekrutan ruling elite dari
tubuh militer jadi berkesinambungan dan terinstitusikan karena penguasa Orde
Baru mengandalkan institusi militer untuk menyangga kekuasaannya. Akibatnya, elite militer awalnya memang mantan pejuang
kemerdekaan, tetapi kemudian diteruskan oleh perwira hasil didikan Akademi
Militer. Mereka jadi ruling elite Indonesia hingga akhir 1990-an.
Elite aktivis
Di dekade 1960-an terjadi ledakan jumlah mahasiswa. Untuk pertama
kalinya, anak muda dari setiap lapis bangsa bisa masuk perguruan tinggi.
Bersamaan dengan itu dunia gerakan mahasiswa mulai tumbuh, menguat, dan mengait
dengan dunia politik. Organisasi mahasiswa menjadi wahana perekrutan pemimpin
muda. Kemudian menjamur pula organisasi kepemudaan menjadi saluran mantan
aktivis mahasiswa untuk meneruskan aktivismenya.
Para mantan aktivis ini kemudian aktif melalui partai politik, dunia
akademis, LSM, ornop, pers, ormas keagamaan di samping sebagian kecil masuk ke
dunia bisnis. Keterampilan organisasional dan politik membuat mereka menjadi kelompok
yang paling siap menyambut peluang demokratisasi dan liberalisasi politik.
Apalagi pseudo-democracy yang ditopang kekuatan militer memang tidak pernah
langgeng.
Benar saja, sesudah tumbangnya Presiden Soeharto, para aktivis itu
menjadi motor partai- partai politik dan aktor-aktor politik dominan di
Indonesia. Saat ini para mantan
aktivislah yang mendominasi kursi-kursi lembaga perwakilan dan lembaga
eksekutif dari tingkat nasional sampai dengan tingkat kabupaten.
Kalangan aktivis dan organisatoris ini menjadi ruling elite baru menggantikan
kalangan militer.
Dari sirkulasi tiga ruling elite terlihat bahwa proses pembentukan
ruling elite itu sangat ditentukan oleh tren utama bangsa pada dua-tiga dekade
sebelumnya. Karena itu, bagi kalangan muda yang berambisi untuk memasuki
wilayah ruling elite, diperlukan ketajaman membaca tren utama bangsa.
Anak muda yang di dekade 1980-an berminat memasuki lingkar kekuasaan
dan memilih jalur militer hanya karena saat itu militer sedang berkuasa,
sebenarnya ia sudah salah jalur karena dalam dua dekade berikutnya
militer—meski masih kuat—sudah bukan lagi ruling elite di Indonesia.
Kekuatan pasar
Pertanyaannya kemudian siapakah yang akan menjadi ruling elite baru?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyaksikan tren utama bangsa saat
ini. Kegiatan paling dominan dan mewarnai kehidupan bangsa saat ini adalah
kegiatan ekonomi. Pasar menjadi arena baru dan telah mempenetrasi hampir semua
aspek kehidupan. Terlepas dari perdebatan tentang bentuk/jenis pasar atau tentang
peran negara dalam pasar; faktanya pasar berkekuatan dominan. Dari mulai ritual
budaya dan agama sampai dengan layanan kesehatan dan pendidikan diwarnai oleh
aspek dan karakter pasar (bisnis).
Tren ini akan berlanjut terus dan perekrutan terhadap generasi muda
untuk memasuki pasar (dunia bisnis) berlangsung intensif. Meskipun mungkin
tidak diiringi kesadaran (atau bahkan tanpa ambisi) bahwa mereka berpotensi
menjadi pewaris ruling elite Indonesia di masa depan. Akan tetapi, bersamaan
dengan konsolidasi demokrasi yang berbasis pasar, para pelaku pasar akan makin
berkepentingan dengan dunia politik dan kebijakan (policy making).
Melihat tren ini, dalam satu-dua dekade ke depan, kalangan enterprener dan profesional bisnis
akan makin banyak memasuki wilayah politik dan menjadi ruling elite baru di
Indonesia. Kalangan enterprener dan profesional bisnis ini memiliki
pengalaman kepemimpinan yang bisa dibuktikan secara konkret, sebagaimana
pemimpin militer.
Gagal-berhasilnya atau semu- tidaknya (hasil KKN atau tidak) seorang
enterprener dan profesional bisnis bisa dinilai dan diukur secara obyektif.
Mereka umumnya berpendidikan tinggi dan sebagian memang berlatar belakang
aktivis mahasiswa. Mereka bukanlah enterprener yang dibesarkan oleh (atau di
zaman) Orde Baru, tetapi umumnya anak-anak muda yang menggeluti bisnis sesudah
tumbangnya Orde Baru.
Saat ini, generasi muda di dunia bisnis memang seakan luput dari
perhatian publik walau mereka punya karya konkret, senyatanya ikut menggerakkan
roda perekonomian Indonesia dan memiliki network of power. Namun, sebagaimana ruling elite masa
sebelumnya, begitu muncul momentum yang tepat, mereka akan masuk dan turut
mendominasi kekuasaan politik di Indonesia.
ANIES BASWEDAN
Direktur Riset The
Indonesian Institute dan Advisor pada Partnership for Governance Reform
Sumber: Kompas
0 komentar