Tumbangnya Para "Pancilok"
Kamis, 15 Agustus 2013
14.50 //
Oleh: AHMAD SYAFII MAARIF
Di India, thugees adalah komplotan kriminal terorganisasi
yang kerjanya merampok, menjarah, mancilok (Minang: mencuri), dan perbuatan
jahat lain. Ada perbedaan mendasar antara thugtatorship dan demokrasi, seperti
yang dapat dibaca dalam artikel Prof Alemayehu G Mariam, “Thugtatorship: The
Highest Stage of African Dictatorship” (28 Februari 2011).
Jika demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat, thugogracy adalah pemerintahan dari pancilok, oleh pancilok,
dan untuk pancilok. Sengaja ungkapan Minang dipakai agar terasa lebih tajam
dalam menggambarkan sosok penjahat yang dimaksud.
Daftar Panjang Para ”Pancilok”
Mariam membuat daftar panjang para thugtator (pancilok)
Afrika yang telah merampok kekayaan negara dalam jumlah miliaran dollar AS
untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kroni mereka. Hasil rampokan ini
disimpan di bank-bank Eropa dan Afrika.
Dalam daftar itu ada Khadafy (Libya), Laurent Gbagbo (Pantai
Gading), Meles Zenawi (Etiopia), Omar al-Bashir (Sudan), Mamadau Tanja (Niger),
Robert Mugabe (Zimbabwe), Hosni Mubarak (Mesir), Zine al-Abidine Ben Ali
(Tunisia), Ibrahim Babangida (Nigeria), Lansana Conte (Guinea), Gnassingbe
Eyadema (Togo), Omar Bongo (Gabon), Obiang Nguema (Guinea-Ekuatorial), Blaise
Campore (Burkina Faso), Denis Sassou Nguesso (Kongo), dan sederet yang lain.
Mereka ini—tak peduli apa pun agama dan aliran
politiknya—adalah penguasa pancilok sambil menindas rakyatnya sendiri dan
membiarkan mereka hidup dalam kemiskinan yang parah. Korupsi adalah bisnis
utama mereka. Luar biasa, bukan?
Tipe manusia semacam ini juga berkeliaran di Indonesia; dari
pusat sampai ke kawasan pedalaman, dalam ukurannya masing-masing. Bangsa ini
memang sedang berlumur kultur hitam dan kumuh itu, sementara pemerintah tidak
serius memeranginya, kecuali dalam kata dan perintah. Kita tak tahu persis
berapa jumlah anak (mantan) penguasa yang punya kekayaan triliunan. Dari mana
asal uang itu? Tentu tak sulit diterka: bertalian dengan bisnis dalam sistem
thugogracy.
Sebagian data berikut kian memperjelas betapa gawat bisnis
korupsi itu dijalankan. Pada 2010, Mugabe berencana menjual perhiasan
berliannya seharga 1,7 miliar dollar AS. Tidak tanggung-tanggung,
Mugabe—termasuk istrinya, Grace Mugabe—telah merampok bantuan asing sebesar 4,5
juta poundsterling yang sebenarnya ditujukan untuk perbaikan nasib rakyat yang
sangat menderita.
Mantan Presiden Nigeria Sani Abacha juga telah mancilok
kekayaan negaranya 500 juta dollar AS. Ben Ali dan Mubarak juga berbuat serupa
dalam jumlah ratusan juta dollar AS, yang sekarang dibekukan di bank Swiss dan
di bank-bank lain. Rezim Khadafy kabarnya punya aset cair di London sebesar 20
miliar poundsterling dan ratusan juta dollar AS lain di Swiss. Omar al-Bashir
yang Muslim tidak saja mencuri uang negara, tetapi juga telah melakukan
kejahatan kemanusiaan di Darfur yang sebagian besar berpenduduk Muslim.
Sikap Barat
Justru yang aneh bin ajaib adalah sikap negara-negara Barat
terhadap penguasa pancilok ini. Selama kepentingan Barat terjamin,
penguasa-penguasa itu dibiarkan menindas dan membunuh rakyatnya.
Ben Ali dan Mubarak sebelum tumbang adalah sahabat-sahabat
setia Barat. Namun, begitu tanda-tanda kejatuhan penguasa korup itu terlihat
dan tak mungkin ditolong lagi, Barat dengan ”semau gue” berputar haluan.
Anda tentu masih ingat dulu ketika diktator Shah Iran Reza
Pahlevi berada di puncak kekuasaannya, Barat selalu memujinya sebagai penguasa
reformis dan rezimnya dikatakan sebagai yang paling stabil di tengah-tengah
gelombang yang mengempas. Namun, karena Iran tetap membangkang Barat, melalui
berbagai cara, negara ini selalu ingin dilumpuhkan, terlepas dari penilaian
apakah penguasa Teheran ini berbuat adil terhadap rakyatnya atau sebaliknya.
Saddam Hussein pun pernah dipuji dan dibantu ketika meletus
perang antara Irak dan Iran. Tak terkecuali rezim Saudi yang despotik juga
sahabat Amerika yang setia, demi minyak. Oleh sebab itu, teriakan Gedung Putih
tentang demokrasi dan hak-hak asasi manusia tidak berlaku untuk thugtator yang
membela kepentingan bisnis dan politik Amerika.
Namun, apabila kepentingan itu dirasakan terancam,
serta-merta mereka dikategorikan musuh yang harus ditumbangkan. Ironisnya,
dunia Islam khususnya, belum juga pandai belajar dari pengalaman serba pahit
dan menipu itu. Amat disayangkan!
Kita tidak dapat mengatakan berapa lama lagi dunia Islam ini
akan dipimpin oleh manusia-manusia merdeka dan berdaulat dengan misi utama:
terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyatnya. Apakah pengalaman revolusi Afrika
yang belum usai ini belum juga menyadarkan mereka bahwa setiap kekuasaan
absolut dan korup pasti, lambat atau cepat, digugat oleh rakyatnya sendiri
untuk diganti.
Peringatan Gandhi
Filosofi anti-kekerasan Mahatma Gandhi untuk perubahan telah
jadi legenda dalam literatur dunia sekalipun tidak mudah diwujudkan. Penguasa
kejam yang tak mau juga keluar dari istananya setelah puluhan tahun berada di
sana, sedang rakyat sudah muak dengan kelakuannya, untuk sebuah perubahan tidak
jarang mengundang pertumpahan darah, sesuatu yang tak diinginkan terjadi oleh
Gandhi.
Namun, sebagai sesuatu yang ideal, filosofi anti-kekerasan
itu akan selalu relevan sebagai sumber renungan yang tak dimakan musim. Inilah
inti ajaran Gandhi itu: ”Saat aku patah harap, aku senantiasa ingat segalanya
bahwa melalui jendela sejarah, jalan kebenaran dan cinta selalu menang. Di sana
banyak tiran dan pembunuh, dan untuk sementara mereka tampak tak terkalahkan,
tetapi di ujung perjalanan, mereka selalu tumbang. Renungkan ini, senantiasa.”
Dengan mengacu pada filosofi Gandhi ini, setiap pejuang kebenaran
tidak boleh kehilangan asa kapan pun dan di mana pun sebab kebenaran dan
keadilan pasti jaya dan menang. Kepalsuan dan kedurjanaan pada akhirnya pasti
hancur. Yang selalu dituntut adalah tersedianya stamina spiritual yang pantang
menyerah. Inilah makna hidup perjuangan yang terdalam dan tak tergoyahkan
sepanjang zaman.
AHMAD SYAFII MAARIF
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
Sumber: Kompas
0 komentar