WIB
Follow Us: Facebook twitter

Menyogok untuk Menjadi CPNS dalam Tinjauan Islam dan Hukum Positif

Selasa, 01 Oktober 2013 21.51 //


Oleh: NANI EFENDI

     Pelaksanaan penerimaan tes CPNS saat ini benar-benar telah sampai pada taraf yang mengkhawatirkan. Betapa tidak, untuk menjadi CPNS saat ini, pihak-pihak tertentu sudah memasang ”tarif” puluhan, bahkan sampai ratusan juta rupiah. Tidak tanggung-tanggung, saat ini, ”tarif” yang dipasang berkisar Rp150 juta hingga Rp200 juta. Seperti orang lelang, siapa yang mampu membayar lebih tinggi, merekalah yang bisa lulus. Benar-benar perbuatan zalim dan sudah keterlaluan. Kalau sudah seperti ini sistem yang diterapkan, maka orang-orang yang berkualitas dan kompeten (sophisticated)—tetapi tidak punya uang, atau tidak mau melakukan sogok-menyogok—hanya bisa gigit jari melihat mereka-mereka yang lulus dengan cara menyogok puluhan juta rupiah itu.

Pengadaan tes CPNS dari tahun ke tahun, oleh pihak-pihak tertentu, sudah dijadikan ”ladang bisnis untuk memperkaya diri pribadi, keluarga, dan golongannya. Belum lagi dengan adanya istilah ”jatah”. Layaknya sistem feodal, mereka seolah-olah sudah menganggap pemerintahan ini adalah warisan nenek moyang mereka yang harus mereka wariskan secara turun-temurun. Mereka merasa rugi kalau ada masyarakat umum yang menjadi PNS dengan cara ”gratis” (baca: lulus murni). Seolah-olah gaji mereka yang lulus murni itu dibayar dengan uang kantong pribadi mereka, atau uang perusahaan mereka. Padahal, gaji PNS itu dibayar dengan uang rakyat, bukan dengan uang pribadi pejabat. Artinya, masyarakat umum berhak untuk menjadi PNS dengan cara murni tanpa ada bayaran sepeser punapalagi puluhan juta rupiahasalkan mereka benar-benar kapabel, mampu, dan layak. Dan, memang, tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan bahwa untuk menjadi CPNS harus membayar sejumlah uang. Namun, sudah menjadi rahasia umum di tengah kehidupan sosial masyarakat kita hari ini bahwa agar bisa diterima menjadi CPNS, orang harus menyogok dengan puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Hal itu memang terjadi, namun susah untuk dibuktikan. Ibaratnya, orang hanya dapat mencium bau, tetapi sulit untuk mengetahui sumber bau.
Terjadinya praktik sogok-menyogok dalam pengadaan PNS tidak hanya muncul dari prilaku pejabat pemegang otoritas, tetapi juga prilaku masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, bukan hanya pejabat yang minta suap, tetapi masyarakat itu sendiri juga mau menyuap. Hal ini dikarenakan pemahaman agama dan pemahaman serta kesadaran hukum yang dangkal. Akibatnya, cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (social welfare) serta upaya untuk menciptakan birokrasi yang baik dan bersih (good and clean government)  menjadi sulit untuk diwujudkan. Namun, anehnya, praktek penyogokan untuk menjadi CPNS saat ini tidak begitu dianggap perbuatan dosa. Di samping itu, hal ini juga tidak begitu mendapat perhatian serius dari banyak kalangan, terutama dari pemegang kekuasaan pemerintahan negeri ini, yakni presiden. Ini, sekali lagi, dikarenakan kekaburan nilai tentang persoalan ini. Karena, jarang sekali para ulama-ulama, ustazd, ataupun penceramah menyampaikan persoalan ini kepada masyarakat umum.

Suap dalam Perspektif Islam

Dalam surat Al-Baqarah ayat 188, Allah menjelaskan bahwa haram memakan harta orang lain dengan cara yang bathil. Allah berfirman, Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil.” (Qs. Al-Baqarah/2: 188). Imam Al-Qurthubi mengatakan, “Makna ayat ini adalah janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang tidak benar.” Dia menambahkan, bahwa barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat, maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang batil.  Dalil dari Hadits Nabi s.a.w., diantaranya adalah seperti yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhu, ia berkata,Rasulullah Shallallahualaihi wasallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR. Abu Daud II/324 no.3580, At-Tirmidzi III/623 no.1337, Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad II/164 no.6532, II/190 no.6778. Dan dinyatakan Shohih  oleh syaikh Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib II/261 no.2211).
Hadits ini menunjukkan bahwa suap-menyuap termasuk dosa besar, karena pelakunya diancam Rasulullah s.a.w. dengan laknat dari Allah. Arti laknat ialah terusir dan terjauhkan dari rahmat Allah. Al-Haitami rahimahullah memasukkan suap ke dalam dosa besar yang ke-32. Di samping Al Qur’an dan hadits, para ulama juga telah sepakat secara ijma’ akan haramnya suap-menyuap secara umum, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnul Atsir, dan Ash-Shan’ani (lihat Al-Mughni XI/437, An-Nihayah II/226, dan Subulussalam I/216). Imam Al-Qurthubi rahimahullah di dalam kitab Tafsirnya mengatakan bahwa para ulama telah sepakat akan keharaman dari suap-menyuap. Imam Ash-Shan’ani mengatakan, “Dan suap-menyuap itu haram berdasarkan Ijma’, baik bagi seorang qodhi (hakim), bagi para pekerja yang menangani shadaqah atau selainnya.” Jadi, jelas dalam tinjauan Islam sogok-menyogok merupakan suatu yang diharamkan oleh Allah s.w.t. Kalau sudah dikatakan haram, berarti itu adalah suatu perbuatan dosa.

Suap dalam Tinjauan Hukum Positif

Dalam hukum positif, suap dan gratifikasi selalu dikaitkan antara pemberian dan janji kepada pegawai negeri. Hal ini bisa kita lihat dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, suap didefinisikan setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Jadi, cakupan suap adalah (1) setiap orang, (2) memberi sesuatu, (3) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, (4) karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Suap terhadap penyelenggara negara dalam perspektif hukum positif dapat dikategorikan sebagai praktik korupsi. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 5 ayat (1), dijelaskan, “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.” Dalam ayat (2) dijelaskan lagi, “Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”
Kemudian dalam Pasal 12B ayat (1) dijelaskan, “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.” Selanjutnya, dalam ayat (2) dijelaskan, “Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Nah, kalau dikaitkan dengan suap agar bisa lulus menjadi CPNS, maka tindakan itu sudah tergolong kepada suap sebagaimana dimaksud dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Mengapa? Karena yang disuap itu adalah oknum pegawai negeri dengan tujuan agar pegawai negeri yang diberi suap (sogok) itu dapat meluluskan pemberi suap untuk menjadi PNS. Tentu, dalam perspektif hukum positif, suap (sogok) untuk menjadi PNS adalah suatu perbuatan melawan hukum karena ia tergolong kepada tindak pidana korupsi. Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan pencerahan bagi masyarakat. Wa ’l-Lah-u a’lam-u bi ’l-shawab.

NANI EFENDI
Pemerhati Masalah Sosial, Tinggal di Jambi

 Sumber: Harian Jambi Independent, Rabu, 25 September 2013

0 komentar

Berikan Komentar

MENU KANAL

Copyright © 2013 All rights reserved - Designed by Kadral hadi Kembali Ke Atas