Senin, 27 Mei 2013

Perguruan Tinggi Pabrik Pengangguran?

Oleh: NANI EFENDI

Karena tingginya angka pengangguran di Indonesia saat ini, banyak komentar kritis ditujukan kepada pemerintah. Tidak hanya pemerintah, sektor pendidikan pun, dalam hal ini perguruan tinggi, juga menjadi sasaran kritikan. Bahkan, muncul statement bahwa perguruan tinggi adalah “pabriknya pengangguran”. Mengapa muncul statement seperti itu? Karena, setiap tahun perguruan tinggi mewisuda ribuan sarjana, sedangkan lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah sarjana yang lulus dari perguruan tinggi yang ada. Akibatnya, sarjana yang baru lulus dari perguruan tinggi menambah deretan panjang jumlah pengangguran di Indonesia. Dengan demikian, berbagai pendapat pun muncul. Ada yang mengatakan tidak relevannya kurikulum dengan kebutuhan dunia usaha (link and match). Ada yang mengatakan kualitas sarjana kita yang masih rendah. Di samping itu, muncul pula istilah “pengangguran terdidik”. Sudah pasti yang dimaksudkan dengan pengangguran terdidik adalah para sarjana yang tidak atau belum memperoleh pekerjaan. Benarkah perguruan tinggi pabriknya pengangguran? Untuk menjawabnya, kita perlu membahas apa tujuan pendidikan dan bagaimana kondisi struktur sosial ekonomi di Indonesia.

Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan dari berbagai Negara berbeda satu sama lain. Tujuan pendidikan erat sekali kaitannya dengan falsafah atau pandangan hidup suatu bangsa. Karena falsafah dan pandangan hidup dari berbagai Negara berbeda satu sama lain, maka tujuan pendidikan pun juga berbeda-beda. Tujuan pendidikan di Negara-negara komunis tentu berbeda dengan tujuan pendidikan di Negara-negara non-komunis. Tujuan pendidikan di Indonesia dari zaman ke zaman pun mengalami perubahan-perubahan. Di zaman penjajahan Jepang, misalnya, tujuan pendidikan disiapkan untuk keperluan perang.
Saat ini, tujuan dan fungsi pendidikan di Indonesia terdapat dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Nah, dilihat dari UU Sisdiknas itu, tidak ada diterangkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja yang siap pakai. Juga tidak dijelaskan untuk menyiapkan pekerja atau buruh yang siap dan mampu bekerja full time. Ini yang harus dipahami dengan baik. Bersekolah bukanlah untuk mencari kerja. Sekolah seharusnya membebaskan jiwa, bukan mencetak kelas pekerja. Sekolah bertujuan, salah satunya, menajamkan pikiran dan menghaluskan perasaan. Jadi, jika setamat kuliah, seseorang menganggur, bukanlah berarti kesalahan dunia pendidikan. Pendidikan di Indonesia bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan untuk mempersiapkan buruh yang siap diterima di berbagai sektor usaha formal maupun non-formal.
Yang perlu diingat pula, kesuksesan bukanlah semata-mata ditentukan oleh pendidikan formal. Banyak contoh orang-orang sukses dan kaya raya yang tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Artinya, jika saat ini terdapat angka pengangguran yang tinggi, bukanlah semata-mata kesalahan dan kelemahan dari perguruan tinggi kita. Kalau dikatakan salah satu penyebab, barangkali iya. Akan tetapi, saya sangat tidak sepakat kalau problem itu adalah semata-mata kelemahan perguruan tinggi yang ada. Apalagi sempat muncul statement bahwa perguruan tinggi adalah pabriknya pengangguran. Banyaknya pengangguran saat ini bukanlah kesalahan pendidikan semata, tetapi banyak faktor yang mempengaruhinya, salah satunya adalah struktur ekonomi yang tidak berpihak.

Aksesibilitas dan Struktur Sosial Ekonomi
Pengangguran dan kemiskinan saat ini lebih disebabkan oleh struktur ekonomi yang timpang. Kemiskinan dan pengangguran lebih banyak disebabkan oleh aksesibilitas terhadap sumber-sumber daya atau faktor-faktor produksi. Sejarah mencatat, banyak orang-orang sukses yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Tetapi, mereka sukses. Mengapa? Karena mereka mendapatkan akses yang luas untuk mengembangkan hidup. Dengan kata lain, mereka memperoleh kesempatan dan peluang. Artinya, walaupun seorang itu sarjana, jika ia tidak mendapatkan kesempatan dan akses untuk mengembangkan hidup, ia akan sulit mencapai kesuksesan.
Menurut Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998, penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas. Karena keterbatasan akses, manusia mempunyai keterbatasan. Bahkan, mereka tidak mempunyai banyak pilihan untuk mengembangkan hidup. Akibatnya, manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat dilakukan ketimbang mengerjakan apa yang seharusnya bisa dilakukan. Aksesibilitas yang dimaksud Sen salah satunya adalah terfasilitasinya kesempatan ekonomi. Demikian Setyo Budiantoro dalam tulisannya di Sinar Harapan, 29 April 2003.
Dalam tulisan yang berjudul “Manusia, Kebebasan, dan Pembangunan” itu, Setyo Budiantoro menjelaskan bahwa apa yang dikemukakan oleh Sen tak jauh berbeda dengan temuan lapangan di Indonesia. Budiantoro mengatakan, Lesson learned yang diperoleh dari Yayasan Pemulihan Keberdayaan Masyarakat (konsorsium 27 jaringan dan ornop besar yang membantu masyarakat keluar dari krisis), mengambil kesimpulan bahwa penyebab kemiskinan adalah akibat ketiadaan akses yang dapat menunjang pemenuhan kehidupan manusiawi. Pada dimensi ekonomi, akibat distribusi akses sumber daya ekonomi yang tak merata menyebabkan rakyat miskin tak dapat mengembangkan usaha produktifnya. Pada dimensi politik, akibat rakyat miskin sangat sulit mengakses dan terlibat berbagai kebijakan publik, maka kebijakan tersebut tak menguntungkan mereka.
Lebih lanjut ia menjelaskan, tesis yang dikemukakan Sen agar tercapainya kesejahteraan, yaitu melalui kebebasan sebagai cara dan tujuan (Development as Freedom), tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Soedjatmoko (Development and Freedom). Freedom menurut Soedjatmoko merupakan kebebasan dari rasa tak berdaya, rasa ketergantungan, rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak diizinkan oleh yang lebih tinggi ataupun adat kebiasaan.
Jadi, setinggi apa pun pendidikan seseorang, jika ia tidak mendapatkan akses untuk mengembangkan diri, ia tidak akan bisa mencapai kesuksesan dalam kehidupannya. Untuk menjadi PNS saja, contohnya, saat ini sarjana harus menyiapkan uang puluhan bahkan ratusan juta. Demikian juga halnya untuk memasuki sektor-sektor usaha formal lainnya. Perusahaan menginginkan syarat-syarat yang demikian ketat. Malah, terkadang tidak masuk akal. Contohnya, harus ada pengalaman kerja sekian tahun. Nah, bagaimana mungkin para sarjana yang baru selesai kuliah bisa memenuhi syarat-syarat itu? Oleh karena itu, kita harus jernih melihat persoalannya. Pengangguran bukanlah semata-mata kelemahan sarjananya, tetapi karena sempitnya kesempatan kerja yang ada. Akibatnya, daya tawar sarjana pun menjadi rendah. Soal kualitas, saya melihat para sarjana yang menganggur tidak kalah dengan mereka-mereka yang bekerja di sektor formal maupun informal.
Mungkin pertanyaannya, mengapa mereka tidak membuka lapangan kerja sendiri? Jawabannya, kembali ke persoalan struktur ekonomi di Indonesia saat ini. Dengan kondisi struktur ekonomi di Indonesia saat ini, membuka lapangan kerja sendiri tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dari akses terhadap permodalan saja, misalnya, seorang sarjana sudah berhadapan dengan hambatan-hambatan dan kesulitan. Contohnya, untuk mendapatkan akses permodalan dari sektor perbankan saja saat ini sulitnya minta ampun. Belum lagi yang nama perizinan. Di sini problemnya. Oleh karena itu, sangatlah tidak tepat jika dikatakan bahwa pengangguran semata-mata kesalahan pendidikan formal. Dan sangatlah tidak tepat dikatakan bahwa perguruan tinggi adalah pabriknya pengangguran.

NANI EFENDI Pemerhati Masalah Sosial, Tinggal di Jambi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar