Selasa, 13 Agustus 2013

Memahami Hakikat Kepemimpinan

Wawancara Eksklusif

Kerincisungaipenuh.com, Kerinci— Tidak ada negara yang miskin. Yang ada hanyalah negara yang salah urus (mismanagement) atau salah pimpin. Artinya, maju mundurnya sebuah organisasi—mulai dari organisasi yang terkecil sampai organisasi yang paling besar, yakni negara—sangat tergantung dari faktor kepemimpinan(leadership). Dengan kata lain, jika terjadi kehancuran, kemunduran, atau kekacauan sebuah komunitas masyarakat atau sebuah organisasi, maka sumber penyebabnya dapat ditelusuri pada faktor kepemimpinan. Dalam kehidupan, manusia selalu membutuhkan keberadaan seorang pemimpin. Dalam komunitas yang paling sederhana sekalipun, manusia tetap membutuhkan pemimpin. Dalam kehidupan rumahtangga, diperlukan pemimpin yang dinamakan kepala keluarga. Pada tingkat negara dibutuhkan pemimpin, dengan berbagai sebutan seperti presiden, raja, kaisar, ratu, sultan, dan lain sebagainya. Semua itu menunjukkan pentingnya keberadaan seorang pemimpin dalam kehidupan. Pemimpin sangat menentukan baik-buruk dan maju-mundurnya sebuah organisasi. Oleh karena itu, siapa pun yang menjadi pemimpin tidak sepantasnya ia menyalahgunakan kepemimpinannya untuk hal-hal yang tidak benar.
Salah satu bukti istimewanya kedudukan pemimpin, dalam sebuah hadits Rasulullah mengatakan bahwa, salah satu doa yang mustajab atau mudah dikabulkan adalah doa pemimpin yang adil. Di samping itu, Islam juga menganggap bahwa setiap manusia itu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya di hari kiamat terhadap apa yang ia pimpin. Rasulullah bersabda, “Kullukum ra’in, wakullukum mas’ulun ‘an ra’iyatih. (Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya di hari kiamat terhadap apa yang ia pimpin).” Jadi, begitu pentingnya kedudukan seorang pemimpin. Nah, jika kita kontekstualisasikan pada kehidupan hari ini, nyata sekali bahwa faktor pemimpin dan kepemimpinan itu merupakan suatu hal yang sangat menentukan terhadap maju-mundurnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bahkan, sampai pada kehidupan manusia secara global. Bobroknya kehidupan berbangsa dan bernegara, salah satu penyebabnya adalah leadership crises (krisis kepemimpinan), baik kepemimpinan nasional maupun pada skala lokal.Namun, banyak orang yang tidak menyadari dan memahami hal ini.

Hari ini, menjadi pemimpin sering dianggap sebagai jalan pintas mencari keuntungan pribadi, seperti kekayaan, popularitas, otoritas, wewenang, fasilitas, privilese, dan kenikmatan-kenikmatan duniawi lainnya. Salah satu contohnya adalah pada momentum pemilu legislatif, pemilukada, pilpres, dan lain sebagainya. Banyak yang mengejar jabatan-jabatan pada momentum itu dengan orientasi yang keliru. Tidak sedikit yang berbondong-bondong untuk menjadi anggota legislatif, bupati, wali kota, gubernur, presiden dan jabatan-jabatan formal lainnya hanya  karena keinginan menjadi seorang pemimpin dan memerankan fungsi kepemimpinan. Padahal, keberadaan pemimpin itu tidak mesti selalu dalam komunitas formal, tetapi keberadaan pemimpin itu ada dalam setiap sektor kehidupan manusia, sejak manusia ada di muka bumi ini sampai dengan saat sekarang.Nah, untuk membahasnya lebih dalam tentang hakikat pemimpin dan kepemimpinan, Kerincisungaipenuh.com mencoba mendiskusikannya dengan dosen Kepemimpinan STIA Nusa Sungaipenuh, Bukhari Muallim. Berikut petikan wawancara Kerincisungaipenuh.com dengan Bukhari Muallim di kediamannya, Sabtu, (10/8/2013).



Apa kepemimpinan itu menurut Anda?



Jadi, begini, sampai hari ini, ada dua pandangan tentang kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dipandang sebagai seni (art). Kedua, sebagai ilmu (science). Namun, yang jelas, kepemimpinan atau leadership itu adalah aktivitas mempengaruhi orang lain untuk mencapai suatu tujuan.Nah, dalam proses mempengaruhi orang lain itu dibutuhkan seni atau art. Kepemimpinan itu pada hakikatnya adalah pengaruh, tidak lebih tidak kurang. Dengan kata lain, jika Anda tidak punya pengaruh, Anda tidak bisa memimpin orang lain. Jika Anda tidak bisa memimpin orang lain, berarti Anda bukan pemimpin.



Se-simple itukah?



Iya.



Kalau seperti itu pengertian kepemimpinan menurut Anda, berarti pemimpin itu tidak mesti selalu berada di sektor formal?



Yes, exactly! Tepat sekali. Pemimpin itu tidak mesti selalu ada di sektor formal sebagaimana halnya pejabat publik atau pejabat negara seperti camat, bupati, walikota, gubernur, presiden, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, meminjam istilah Rektor Universitas Paramadina, Doktor Anies Baswedan, saat ini kebanyakan orang tidak butuh pejabat, tetapi mereka butuh pemimpin. Pemimpin yang dimaksudkan adalah orang yang mampu meng-influence (mempengaruhi –Red.) dan membimbing rakyat—tanpa rakyat itu merasa terpaksa—dalam rangka mencapai tujuan berbangsa dan bernegara, yakni kesejahteraan rakyat (socialwelfare). Di situ dibutuhkan keteladanan. Pemimpin yang mau diikuti oleh rakyat adalah pemimpin yang bisa diteladani.



Apakah saat ini pejabat tidak bisa melakukan hal itu?



Ya, Anda lihat sendiri. Kenyataannya hari ini kan banyak pejabat yang tidak mampu mempengaruhi orang lain. Berarti, menjadi pejabat itu belum tentu otomatis menjadi pemimpin.Dengan kata lain, pemimpin dan pejabat itu berbeda. Oleh karenanya, dalam teori kepemimpinan ada perbedaan antara istilah “leader” dan “manager”. Namun, orang sering menyamakan antara pejabat dengan pemimpin. Padahal, keduanya berbeda.



Berarti, yang lebih dihormati orang itu adalah pemimpin, bukan pejabat?



Ya, betul. Nah, hari ini wajar saja banyak orang yang tidak menaruh hormat lagi pada pejabat yang tidak punya kualitas pribadi sebagaipemimpin, karena sudah banyak pejabat yang orientasinya cuma uang dan kepentingan pribadi, seperti menyalahgunakan wewenang yang mereka miliki (abuse of power), korupsi, manipulasi, dan prilaku-prilaku bejat lainnya. Pejabat hari ini sudah banyak yang korup. Ha..ha..ha...(tertawa lepas)



Ok. Bagaimana Anda melihat fungsi partai saat ini, tidakkah ia berfungsi sebagai wadah kaderisasi calon pemimpin?



Ya, semestinyakan seperti itu. Fungsi partai politik itu salah satunya adalah sebagai wadah kaderisasi calon pemimpin atau sebagai kawah candradimuka. Namun, saat ini saya tidak melihatnya demikian. Kita lihat saja pada level nasional. Sampai saat ini, tidak ada partai yang melahirkan tokoh, tetapi tokohlah yang banyak melahirkan partai.



Berarti, menurut Anda, menjadi pemimpin itu tidak gampang?



Ya, tidak gampang. Seperti kita lihat contoh hari ini. Orang-orang yang sudah berhasil menjadi pejabat publik, seperti menjadi anggota legislatif, bupati, walikota, gubernur, dan pejabat-pejabat formal lainnya, ternyata mereka tidak mudah mempengaruhi orang-orang untuk mengikuti apa yang mereka inginkan dan perintahkan. Mengapa demikian? Karena mereka pada awalnya tidak punya pengaruh. Namun, karena trik-trik politik yang mereka miliki, mereka berhasil meraih kedudukan-kedudukan formal. Atau mungkin juga diuntungkan oleh patahan-patahan sejarah. Dengan kata lain, mereka berhasil menjadi anggota legislatif, katakanlah seperti itu, bukan karena pengaruh yang mereka miliki, tetapi karena kekuatan finansial dan berbagai trik politik. Coba kita lihat hari ini. Orang-orang yang tidak punya uang, untuk bisa duduk di kursi legislatif maupun menjadi pejabat-pejabat publik lainnya, susahnya minta ampun.



Ok. Sekarang saya mau bertanya tentang tipe-tipe kepemimpinan. Bisa Anda jelaskan?



Ya, tipe-tipe kepemimpinan itu ada banyak sekali. Kita bisa baca di dalam literatur-literatur ilmiah tentang teori kepemimpinan. Memang, terdapat sedikit perbedaan antara satu sama lain dari para ahli. Tetapi, pada dasarnya terdapat persamaan, baik dari segi istilah atau terminologi maupun dari segi substansi tentang kepemimpinan.



Ada berapa tipe-tipe kepemimpinan itu?



Ada banyak sekali.



Contohnya?



Ya, seperti tipe kharismatis, paternalistis, otoriter atau otokratis (outhoritative), militeristik, laissez faire, administratif, dan tipe demokratis.



Bisa Anda jelaskan satu persatu?



Ha..ha..ha..., ini sebenarnya terlalu panjang untuk dijelaskan. Tapi tidak apa-apa, karena Anda sudah bertanya. Ya, pertama, tipe kepemimpinan kharismatis. Tipe kepemimpinan karismatis memiliki kekuatan energi, daya tarik dan pembawaan yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang bisa dipercaya. Kepemimpinan kharismatik dianggap memiliki kekuatan ghaib (supernatural power) dan kemampuan-kemampuan yang superhuman, yang diperolehnya sebagai anugerah Tuhan. Kepemimpinan yang kharismatik memiliki inspirasi, keberanian, dan berkeyakinan teguh pada pendirian sendiri. Totalitas kepemimpinan kharismatik memancarkan pengaruh dan daya tarik yang amat besar.Bung Karno dan Gus Dur adalah beberapa contoh pemimpin kharismatik.

Kedua, tipe kepemimpinan paternalistis.Kepemimpinan paternalistik lebih diidentikkan dengan kepemimpinan yang kebapakan dengan sifat-sifat sebagai berikut: mereka menganggap bawahannya sebagai manusia yang belum dewasa, atau anak sendiri yang perlu dikembangkan. Mereka bersikap terlalu melindungi.Mereka jarang memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengambil keputusan sendiri.Mereka hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada bawahan untuk berinisiatif.Mereka hampir tidak pernah memberikan kesempatan pada pengikut atau bawahan untuk mengembangkan imajinasi dan daya kreativitas mereka sendiri. Dan, mereka selalu bersikap maha tahu dan maha benar.

Ketiga, tipe kepemimpinan militeristik.Tipe kepemimpinan militeristik ini sangat mirip dengan tipe kepemimpinan otoriter. Ciri-ciri tipe kepemimpinan militeristik adalah: lebih banyak menggunakan sistem perintah atau komando, keras dan sangat otoriter, kaku dan seringkali kurang bijaksana, menghendaki kepatuhan mutlak dari bawahan, sangat menyenangi formalitas, upacara-upacara ritual dan tanda-tanda kebesaran yang berlebihan, menuntut adanya disiplin yang keras dan kaku dari bawahannya, tidak menghendaki saran, usul, sugesti, dan kritikan-kritikan dari bawahannya, dan komunikasi hanya berlangsung satu arah.

Keempat, tipe kepemimpinan otokratis (outhoritative).Kepemimpinan otokratis memiliki ciri-ciri antara lain: mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan mutlak yang harus dipatuhi. Pemimpinnya selalu berperan sebagai pemain tunggal, berambisi untuk merajai situasi. Setiap perintah dan kebijakan selalu ditetapkan sendiri. Bawahan tidak pernah diberi informasi yang mendetail tentang rencana dan tindakan yang akan dilakukan. Semua pujian dan kritik terhadap segenap anak buah diberikan atas pertimbangan pribadi.Adanya sikap eksklusivisme.Selalu ingin berkuasa secara absolut. Sikap dan prinsipnya sangat konservatif, kuno, ketat dan kaku, dan pemimpin tipe ini akan bersikap baik pada bawahan apabila mereka patuh.

Kelima, tipe kepemimpinan laissez faire.Pada tipe kepemimpinan ini praktis pemimpin tidak memimpin. Ia membiarkan kelompoknya dan setiap orang berbuat semaunya sendiri. Pemimpin tidak berpartisipasi sedikit pun dalam kegiatan kelompoknya. Semua pekerjaan dan tanggung jawab harus dilakukan oleh bawahannya sendiri. Pemimpin hanya berfungsi sebagai simbol, tidak memiliki keterampilan teknis, tidak mempunyai wibawa, tidak bisa mengontrol anak buah, tidak mampu melaksanakan koordinasi kerja, dan tidak mampu menciptakan suasana kerja yang kooperatif. Kedudukannya sebagai pemimpin biasanya diperoleh dengan cara penyogokan, suapan atau karena sistem nepotisme. Oleh karena itu, organisasi yang dipimpinnya biasanya morat-marit dan kacau balau.

Keenam,  tipe kepemimpinan administratif.Kepemimpinan tipe administratif ialah kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan tugas-tugas administrasi secara efektif. Pemimpinnya biasanya terdiri dari teknokrat-teknokrat dan administratur-administratur yang mampu menggerakkan dinamika modernisasi dan pembangunan. Oleh karena itu, dapat tercipta sistem administrasi dan birokrasi yang efisien dalam pemerintahan. Pada tipe kepemimpinan ini diharapkan adanya perkembangan teknis, yaitu teknologi, indutri, manajemen modern, dan perkembangan sosial ditengah masyarakat.

Ketujuh, tipe kepemimpinan demokratis.Kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia dan memberikan bimbingan yang efisien kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua bawahan, dengan penekanan pada rasa tanggung jawab internal pada diri sendiri dan kerjasama yang baik. Kekuatan kepemimpinan demokratis tidak terletak pada pemimpinnya, tetapi terletak pada partisipasi aktif dari setiap warga kelompok.Kepemimpinan demokratis menghargai potensi setiap individu. Kepemimpinan demokratis mau mendengarkan nasehat dan sugesti bawahan. Bersedia mengakui keahlian para spesialis dalam bidangnya masing-masing. Mampu memanfaatkan kapasitas setiap anggota seefektif mungkin pada saat-saat dan kondisi yang tepat. Jadi, itu adalah beberapa tipe-tipe kepemimpinan.



Dari tipe-tipe kepemimpinan itu, menurut Anda, mana yang lebih baik dan lebih efektif untuk diterapkan?



Ya, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri.



Maksud Anda?



Begini, pada dasarnya tipe kepemimpinan itu bukanlah suatu hal yang mutlak untuk diterapkan.Karena, pada dasarnya, semua jenis gaya kepemimpinan itu memiliki keunggulan masing-masing. Pada situasi atau keadaan tertentu dibutuhkan gaya kepemimpinan yang otoriter, walaupun pada umumnya gaya kepemimpinan yang demokratis lebih bermanfaat. Oleh karena itu, dalam aplikasinya, tinggal bagaimana kita menyesuaikan gaya kepemimpinan yang akan diterapkan pada situasi tertentu. Dalam kondisi perang,misalnya, seorang jenderal tidak mesti harus berunding dulu dengan bawahannya ketika serangan musuh datang secara mendadak. Nah, dalam kondisi yang demikian, dituntut kecakapan jenderal itu mengambil tindakan yang efektif secepatnya. Itu salah satu contoh. Oleh karenanya, dewasa ini ada istilah “gaya kepemimpinan situasional”.



Apa itu gaya kepemimpinan situasional?



Gaya kepemimpinan situasional itu ialah gaya kepemimpinan yang berdasarkan atas hubungan yang dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu tingkat bimbingan dan arahan yang diberikan pemimpin, tingkat dukungan sosioemosional yang disajikan pemimpin, dan tingkat kesiapan yang diperlihatkan bawahan dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan tujuan tertentu.



Bagaimana cara mengimplementasikannya dalam kondisi riil?



Untuk mengimplementasikan gaya kepemimpinan situasional, seorang pemimpin harus mengetahui bagaimana cara mempertemukan antara gaya kepemimpinan dengan kematangan pengikut. Pada saat seorang pemimpin berusaha mempengaruhi orang lain, maka tugas-tugas yang harus diketahui terdiri dari dua bagian penting, diantaranya adalah mendiagnosa tingkat kesiapan bawahan dalam tugas-tugas tertentu, dan dapat menunjukkan gaya kepemimpinan yang tepat untuk setiap situasi. Dalam kepemimpinan situasional, kematangan merupakan suatu hal yang kerap dipandang sebagai kemampuan dan kemauan orang-orang atau kelompok untuk memikul tanggung jawab dalam hal mengarahkan prilaku mereka sendiri dalam situasi tertentu. Dalam kepemimpinan situasional, kematangan merupakan konsep yang berkaitan dengan tugas tertentu dan bergantung kepada hal yang ingin dicapai oleh seorang pemimpin.



Apa maksud tingkat kematangan bawahan, bisa Anda jelaskan?



Menurut Paul Hersey dan Ken. Blanchard, seorang pemimpin itu harus memahami kematangan bawahannya sehingga dia tidak salah dalam menerapkan gaya kepemimpinan.Tingkat kematangan yang dimaksud itu adalah:pertama, ada orang yang tidak mampu dan tidak ingin. Kedua, ada orang yang tidak mampu tetapi mau. Ketiga, ada orang yang mampu tetapi tidak mau. Keempat, ada orang yang mampu dan mau. Nah, tingkat-tingkat  kematangan bawahan yang seperti inilah yang harus dipahami dengan baik oleh seorang pemimpin dalam membimbing bawahannya.



Ok. Menurut Anda, pemimpin itu terlahir atau tercipta?



Ya, semua manusia dilahirkan kecuali Nabi Adam, ha...ha...ha... (tertawa lepas). Begini, tidak banyak orang yang lahir sebagai pemimpin. Pemimpin (leader) lebih banyak ada dan handal karena dilatihkan. Artinya, untuk menjadi pemimpin yang baik haruslah mengalami trial and error dalam menerapkan gaya kepemimpinan.Semua kita bisa menjadi pemimpin.



Tapi, untuk menjadi pemimpin itukan harus ada pengikut, bagaimana menurut Anda?



Betul. Pemimpin tidak akan pernah ada tanpa bawahan dan bawahan juga tidak akan ada tanpa pemimpin. There is no leader without at least one follower. Dalam ungkapan lain, there is no leadership without followership.Tidak ada kepemimpinan tanpa pengikut. Kedua komponen ini merupakan sinergi dalam sebuah organisasi dalam rangka mencapai tujuan.



Bagaimana Anda melihat persoalan kepemimpinan dewasa ini?



Ada sebuah ungkapan, “Anda bisa mencintai orang lain tanpa memimpin mereka. Tetapi, Anda tidak bisa memimpin orang lain tanpa mencintai mereka.” Sekarang banyak pemimpin yang tidak peduli dengan pengikutnya. Kita lihat realita sekarang. Semuanya jalan sendiri-sendiri. Pemimpin sibuk dengan urusannya, dan pengikut pun sibuk mengurus kepentingannya sendiri-sendiri. Dalam hal ini, saya teringat dengan ungkapan Profesor Syafi’i Ma’arif, “Saya tidak tahu, apakah ada pemimpin sekarang ini apa tidak.” Maksud statement beliau itu adalah hari ini pemimpin sudah tidak berfungsi sebagaimana fungsi pemimpin yang sebenarnya. Pemimpin itukan semestinya membimbing, menunjuki rakyat ke jalan yang benar, memperhatikan nasib rakyat atau bawahannya, mengabdi dengan ikhlas untuk kepentingan rakyat, dan lain sebagainya. Pendek kata, kewajiban pemimpin itu ialah melayani kepentingan rakyat atau bawahannya, bukan minta dilayani.



Adakah saat ini pemimpin yang ideal menurut Anda?



Ada. Tetapi, tidak banyak. Mencari pemimpin yang ideal dewasa ini seperti mencari barang langka.



Melalui pemilukada langsung di banyak daerah saat ini, apakah tidak bisa lahir pemimpin yang ideal?



Dalam pengamatan saya, dari seratus persen hanya nol koma sekian persen pemimpin ideal yang lahir dari sistem demokrasi yang bernama “pemilukada langsung” saat ini.



Mengapa?



Ya, seperti yang saya jelaskan di atas. Banyak pemimpin yang muncul melalui pemilukada langsung saat ini dengan cara-cara yang tidak benar. Banyak yang menang pemilukada dengan cara curang, seperti praktek money politics, penggelembungan suara, menggembosi suara kandidat lain, intimidasi, mengumbar janji-janji manis, dan lain sebagainya.



Apa contohnya?



Contoh dan buktinya, silakan Anda lihat sendiri. Banyak sengketa pemilukada di Mahkamah Konstitusi (MK), persoalannya hanya seputar persoalan-persoalan yang demikian.



Siapa yang salah, menurut Anda, yang dipilih atau pemilih itu sendiri?



Kalau saya melihat, bisa kedua-duanya.



Bukankah itu kesalahan rakyat sendiri yang mau memilih mereka?



Persoalannya bukan itu saja. Begini, kita kan tahu, tingkat pendidikan politik masyarakat kita masih rendah. Nah, semestinya, kandidat-kandidat yang bertarung di pemilukada itulah yang seharusnya mendidik dan memberikan pencerahan politik yang baik, bukan sebaliknya, membodohi pemilih dengan cara kotor, seperti memberi uang, menjanjikan jabatan-jabatan tertentu, menjanjikan pembangunan-pembangunan tertentu, dan lain sebagainya.Padahal, itu terkadang hanya sebatas lip service (pemanis bibir).Karena begini, perubahan atau transformasi sosial yang besar itu, dalam sejarahnya, tidak pernah dimulai dari massa rakyat yang berjumlah besar, tetapi selalu dimulai dari kelompok kecil elit, seperti elit intelektual, kaum terdidik, elit agamawan, para  nabi, dan lain sebagainya. Nah, para kandidat, baik itu kandidat bupati, walikota, gubernur, dan bahkan kandidat presiden sekalipun adalah bagian dari kelompok elit. Semestinya, merekalah yang memulai perubahan sosial (social transformation) ke arah yang lebih baik. Bagaimana caranya? Ya, mereka harus berpolitik secara baik berdasarkan moral dan etika politik. Merekalah seharusnya yang memulai berdemokrasi secara baik. Bukan dari masyarakat awam.



Berarti, yang punya peran besar itu adalah para kandidat, termasuk kandidat presiden, yang merupakan calon pemimpin itu sendiri?



Menurut saya, iya. Merekalah yang seharusnya memberikan contoh berdemokrasi secara benar dalam upaya mencari calon pemimpin yang baik.



Tapi, banyak kandidat yang berprilaku curang, bagaimana menurut Anda?



Ya, itulah yang kita sayangkan. Meminjam istilah Professor Syafi’i Ma’arif, budaya politik kita masih kumuh. Sehingga, yang lahir itu bukanlah pemimpin yang melayani, tetapi hanya sebatas pejabat formal yang haus harta dan kekuasaan, gila hormat, tidak peduli dengan kepentingan orang banyak,dan selalu minta dilayani. Mereka lupa diri dan lupa dengan rakyatnya. Padahal, mereka itu dipilih oleh rakyat.



Sekarang, tidak sedikit yang mau jadi pemimpin tujuannya hanyalah untuk  mencari kekayaan pribadi. Apa komentar Anda?



Ada sebuah pepatah dalam bahasa Belanda, “Leiden is lijden.” (Memimpin adalah jalan menderita). Pemimpin adalah orang yang kesepian.” Pepatah itu menunjukkan bahwa memimpin itu adalah sebuah amanah. Dalam menjalankan amanah, tentu berbagai tantangan yang dihadapi pemimpin. Itulah yang dimaksud memimpin itu adalah jalan menderita.



Pemimpin adalah orang yang kesepian. Apa maksudnya itu?



Pemimpin itu tidak punya teman atau keluarga. Artinya, ketika seseorang itu memimpin ia harus menghindarkan praktik nepotisme. Nah, sekarang praktik ini termasuk hal yang sulit dihindarkan oleh banyak pemimpin. Anda bisa lihat, kalau ayahnya jadi bupati, walikota, gubernur, dan sebagainya, anaknya ikut-ikutan sibuk memanfaatkan kekuasaan ayahnya. Jadi ini, jadi itu, ngurus ini, ngurus itu. Iya, kan?



Ha..ha..ha.. ya betul. Baiklah. Terakhir, closing statement dari Anda



Ya, siapa pun yang menjadi pemimpin, baik itu di organisasi yang paling kecil seperti dalam rumahtangga, masyarakat, maupun organisasi pada skala besar yang bernama “negara”, janganlah menyalahgunakan kepemimpinan itu. Karena, baik-buruknya sebuah organisasi sangat tergantung dengan peran pemimpin di dalamnya. Dan, yang tidak kalah penting harus diingat adalah pesan Rasulullah, bahwa setiap kita adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya di hari kiamat terhadap apa yang mereka pimpin. (NE)






















Tidak ada komentar:

Posting Komentar