Oleh: INDRA J PILIANG
Ranah politik kian menjadi arena paling kreatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fakta ini berkebalikan dengan perkembangan sejak tahun 1971 saat pemerintah pelan-pelan mengarantina politik demi pembangunan ekonomi. Saat pertumbuhan ekonomi melamban, aktivitas politik bergerak kencang. Banyak orang memperjuangkan kepentingan ekonomi lewat ajang politik. Hubungan timbal balik pun terbangun.
Bangsa yang
hanya ada dalam imajinasi kolektif kian terluka oleh ketidakberesan pengelolaan
pemerintahan. Negara seakan meninggalkan tujuan kelahirannya sekaligus buta
atas masa depan. Kalaupun ada visi Indonesia 2030, tampak negara diurus seperti
mengelola perusahaan. Padahal, negara bukan perusahaan, melainkan tempat
bertemunya beragam individu dengan pola pikir dan kultur berbeda.
Negara muda
Sebagai
negara, Indonesia bisa disebut negara muda, muda dalam usia. Jika dikaitkan
sistem pemerintahan tradisional, Indonesia sudah lama hidup dengan
bentuk-bentuk kerajaan. Indonesia terjalin dari negara-negara tua yang mati
akibat kekacauan, perang, dan kekalahan. Namun, dalam bentuk modern, negara
Indonesia masih berusia muda, lebih muda lagi bila dikaitkan dengan demokrasi.
Dalam pola
pikir generasi kini, demokrasi adalah syarat hidup dari negara. Kita lihat
banyak kaum muda memasuki beragam pekerjaan. Ada yang berhasil, ada yang gagal.
Begitu pula bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Partahi Mamora Halomoan
Lumbantoruan adalah tipikal anak muda zaman baru itu.
Partahi adalah
contoh anak muda yang tidak mendapat sentuhan negara. Ia mendapat kasih sayang
dari kedua orangtuanya, yang salah satu bukan ibu kandungnya. Partahi yang
mengejar impian ke negeri orang ternyata menemukan situasi yang tidak bisa
dipercaya, ditembak anak muda negeri lain yang sedang kehilangan kepercayaan.
Andai Partahi tidak mati, ia akan kembali ke Indonesia dan membangun negeri yang
sedang runtuh ini untuk mencapai tujuan kemanusiaan. Ia potensial menjadi
seorang pemimpin besar.
Pemimpin tua
Mayat Partahi
datang saat gelombang ketidakpercayaan kepada kaum muda datang dari para
pemimpin tua. Betul, masih ada para pemimpin tua yang kaya pengalaman dan ilmu
pengetahuan, tetapi lebih memilih menjadi pertapa. Sedangkan mereka yang sedang
memimpin lembaga-lembaga formal tampak tidak banyak memberi kesempatan kepada
para calon pemimpin potensial yang mampu mengerti cita-cita Partahi.
Kesenjangan
antara generasi tua dan generasi muda begitu dalam. Penguasaan terjadi pada
banyak bidang, tidak hanya pada pemerintahan, organisasi sosial politik, tetapi
juga memasuki wilayah kampus, bahkan menjangkau wilayah masyarakat sipil.
Kesadaran bahwa dunia anak-anak muda yang kelak menggerakkan zaman tidak juga
hinggap.
Tidak heran
jika para menteri di kabinet sakit-sakitan, mengingat beban berat pekerjaan.
Tidak juga membingungkan jika dunia politik terasa jauh dari aspirasi kaum
muda, bahkan hanya mempertontonkan pertengkaran memabukkan dalam mempertahankan
kekuasaan. Kita jarang menemukan pemimpin yang sering tersenyum dan tertawa,
apakah ia oposisi atau penguasa, lantas memberi contoh kepada negeri ini akan
pentingnya etika.
Yang ditemukan
adalah contoh-contoh mengerikan. Tentang korupsi dan kelaparan. Tentang
ideologi dan kekerasan. Tentang peluru dan nyawa. Dan tentang kepurapuraan
betapa mereka memiliki kepedulian. Inspirasi menjadi hilang di tengah banyak
kaum demagog melontarkan orasi. Jarang ditemukan politikus mampu berpuisi dan
menari. Kata-kata menjadi tidak lagi berkerangka, terbang melayang diembus
tumpukan berita yang datang silih berganti setiap pagi, siang, petang, dan
malam hari.
Beri kesempatan
Akankah negara
muda ini mampu bertahan dengan aneka persoalan? Ataukah ia tenggelam saat
inspirasi dan imajinasi kaum muda diremehkan? Jawaban atas pertanyaan ini
membawa kita kepada siapa pemimpin yang bisa mewujudkan. Jika pemimpin itu
adalah mereka yang mengendalikan kekuasaan, terasa skeptisisme yang menguat di
kalangan kaum muda. Negara muda yang dipimpin para tetua, ibarat rumah tembok
yang disangga kayu hutan yang lapuk.
Tentu kita tak
hendak menggugat kaum tua negeri ini. Kita hanya memberi tahu, ada saatnya
untuk berkuasa dan ada saatnya memberi kesempatan anak-anak muda untuk belajar
berkuasa atas pengawasan dan nasihat kaum tua. Membangun jembatan antargenerasi
adalah bagian penting kesadaran berbangsa dan bernegara, selagi masih banyak
soal yang layak diperdebatkan.
Kita tahu,
bibit-bibit revolusi tidak ada di negeri ini. Mungkin revolusi hanya ada dalam
pikiran, berupa revolusi pemikiran. Dalam pemikiran itu, bergema tuntutan lewat
iklan, betapa anak muda yang tidak lagi dipercaya sedang menggerutu. Banyak
yang memilih menyendiri, tetapi ada juga yang membunuh diri sendiri. Ada
pemikiran, negeri lain lebih bisa menjaga mimpi anak-anak muda negeri ini.
Jika para
pemimpin tua negeri ini percaya bahwa masih ada masa depan, berilah kaum muda
kesempatan. Dasarnya bukan rasa kasihan, tetapi karena ada prestasi yang
mungkin belum dipahami kalangan tua. Di dunia sepak bola atau film, di negeri-
negeri atas langit, ada penghargaan bagi anak-anak muda pencetak rekor. Di
negeri ini anak- anak muda perfilman telah mengembalikan piala yang diperoleh
karena tahu ada "sesuatu" di balik pemberian itu. Akankah itu tetap
menjadi lingkaran setan? Krisis kepercayaan sedang menjadi endemik saat negara
muda ini ada di tubir jurang kehancuran.
INDRA J PILIANG
Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta
Sumber: Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar