Selasa, 13 Agustus 2013

Pemimpin Tua, Negara Muda

Oleh: INDRA  J  PILIANG



     Ranah politik kian menjadi arena paling kreatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fakta ini berkebalikan dengan perkembangan sejak tahun 1971 saat pemerintah pelan-pelan mengarantina politik demi pembangunan ekonomi. Saat pertumbuhan ekonomi melamban, aktivitas politik bergerak kencang. Banyak orang memperjuangkan kepentingan ekonomi lewat ajang politik. Hubungan timbal balik pun terbangun.
Bangsa yang hanya ada dalam imajinasi kolektif kian terluka oleh ketidakberesan pengelolaan pemerintahan. Negara seakan meninggalkan tujuan kelahirannya sekaligus buta atas masa depan. Kalaupun ada visi Indonesia 2030, tampak negara diurus seperti mengelola perusahaan. Padahal, negara bukan perusahaan, melainkan tempat bertemunya beragam individu dengan pola pikir dan kultur berbeda.

Negara muda

Sebagai negara, Indonesia bisa disebut negara muda, muda dalam usia. Jika dikaitkan sistem pemerintahan tradisional, Indonesia sudah lama hidup dengan bentuk-bentuk kerajaan. Indonesia terjalin dari negara-negara tua yang mati akibat kekacauan, perang, dan kekalahan. Namun, dalam bentuk modern, negara Indonesia masih berusia muda, lebih muda lagi bila dikaitkan dengan demokrasi.
Dalam pola pikir generasi kini, demokrasi adalah syarat hidup dari negara. Kita lihat banyak kaum muda memasuki beragam pekerjaan. Ada yang berhasil, ada yang gagal. Begitu pula bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Partahi Mamora Halomoan Lumbantoruan adalah tipikal anak muda zaman baru itu.
Partahi adalah contoh anak muda yang tidak mendapat sentuhan negara. Ia mendapat kasih sayang dari kedua orangtuanya, yang salah satu bukan ibu kandungnya. Partahi yang mengejar impian ke negeri orang ternyata menemukan situasi yang tidak bisa dipercaya, ditembak anak muda negeri lain yang sedang kehilangan kepercayaan. Andai Partahi tidak mati, ia akan kembali ke Indonesia dan membangun negeri yang sedang runtuh ini untuk mencapai tujuan kemanusiaan. Ia potensial menjadi seorang pemimpin besar.

Pemimpin tua

Mayat Partahi datang saat gelombang ketidakpercayaan kepada kaum muda datang dari para pemimpin tua. Betul, masih ada para pemimpin tua yang kaya pengalaman dan ilmu pengetahuan, tetapi lebih memilih menjadi pertapa. Sedangkan mereka yang sedang memimpin lembaga-lembaga formal tampak tidak banyak memberi kesempatan kepada para calon pemimpin potensial yang mampu mengerti cita-cita Partahi.
Kesenjangan antara generasi tua dan generasi muda begitu dalam. Penguasaan terjadi pada banyak bidang, tidak hanya pada pemerintahan, organisasi sosial politik, tetapi juga memasuki wilayah kampus, bahkan menjangkau wilayah masyarakat sipil. Kesadaran bahwa dunia anak-anak muda yang kelak menggerakkan zaman tidak juga hinggap.
Tidak heran jika para menteri di kabinet sakit-sakitan, mengingat beban berat pekerjaan. Tidak juga membingungkan jika dunia politik terasa jauh dari aspirasi kaum muda, bahkan hanya mempertontonkan pertengkaran memabukkan dalam mempertahankan kekuasaan. Kita jarang menemukan pemimpin yang sering tersenyum dan tertawa, apakah ia oposisi atau penguasa, lantas memberi contoh kepada negeri ini akan pentingnya etika.
Yang ditemukan adalah contoh-contoh mengerikan. Tentang korupsi dan kelaparan. Tentang ideologi dan kekerasan. Tentang peluru dan nyawa. Dan tentang kepurapuraan betapa mereka memiliki kepedulian. Inspirasi menjadi hilang di tengah banyak kaum demagog melontarkan orasi. Jarang ditemukan politikus mampu berpuisi dan menari. Kata-kata menjadi tidak lagi berkerangka, terbang melayang diembus tumpukan berita yang datang silih berganti setiap pagi, siang, petang, dan malam hari.

Beri kesempatan

Akankah negara muda ini mampu bertahan dengan aneka persoalan? Ataukah ia tenggelam saat inspirasi dan imajinasi kaum muda diremehkan? Jawaban atas pertanyaan ini membawa kita kepada siapa pemimpin yang bisa mewujudkan. Jika pemimpin itu adalah mereka yang mengendalikan kekuasaan, terasa skeptisisme yang menguat di kalangan kaum muda. Negara muda yang dipimpin para tetua, ibarat rumah tembok yang disangga kayu hutan yang lapuk.
Tentu kita tak hendak menggugat kaum tua negeri ini. Kita hanya memberi tahu, ada saatnya untuk berkuasa dan ada saatnya memberi kesempatan anak-anak muda untuk belajar berkuasa atas pengawasan dan nasihat kaum tua. Membangun jembatan antargenerasi adalah bagian penting kesadaran berbangsa dan bernegara, selagi masih banyak soal yang layak diperdebatkan.
Kita tahu, bibit-bibit revolusi tidak ada di negeri ini. Mungkin revolusi hanya ada dalam pikiran, berupa revolusi pemikiran. Dalam pemikiran itu, bergema tuntutan lewat iklan, betapa anak muda yang tidak lagi dipercaya sedang menggerutu. Banyak yang memilih menyendiri, tetapi ada juga yang membunuh diri sendiri. Ada pemikiran, negeri lain lebih bisa menjaga mimpi anak-anak muda negeri ini.
Jika para pemimpin tua negeri ini percaya bahwa masih ada masa depan, berilah kaum muda kesempatan. Dasarnya bukan rasa kasihan, tetapi karena ada prestasi yang mungkin belum dipahami kalangan tua. Di dunia sepak bola atau film, di negeri- negeri atas langit, ada penghargaan bagi anak-anak muda pencetak rekor. Di negeri ini anak- anak muda perfilman telah mengembalikan piala yang diperoleh karena tahu ada "sesuatu" di balik pemberian itu. Akankah itu tetap menjadi lingkaran setan? Krisis kepercayaan sedang menjadi endemik saat negara muda ini ada di tubir jurang kehancuran.

INDRA J PILIANG
Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta


Sumber: Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar