Oleh: NANI EFENDI
Kerinci adalah daerah agraris yang memiliki lahan pertanian yang subur. Oleh karenanya, tidaklah berlebihan jika Kerinci dijuluki “Sekepal Tanah Surga yang Tercampak ke Bumi”. Apa saja ditanam, bisa tumbuh. Hampir semua kebutuhan pangan dapat dipenuhi dari kegiatan pertanian masyarakat Kerinci sendiri. Ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi (economic crises) pada tahun 1998, harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Namun, masyarakat
Kerinci tidak terlalu merasa terpukul oleh krisis itu karena kebutuhan pokok, khususnya
beras, dapat dipenuhi oleh masyarakat Kerinci sendiri dengan mengandalkan lahan
sawah yang masih tersedia. Kalau di berbagai daerah, orang harus menyuplai
beras dari daerah lain, tidak demikian halnya dengan daerah Kerinci. Orang
Kerinci selama ini, sebagian besarnya, tidak pernah kekurangan beras.
Kalau di
daerah lain orang menjual beras dengan hitungan kiloan, di Kerinci dijual
dengan memakai takaran liter beras. Beras dimasukkan ke dalam tempat yang dalam
istilah Kerinci disebut “lite”,
kemudian bagian atas “lite” yang
sudah terisi beras diratakan dengan bambu, biasanya yang pakai adalah bambu yang
digunakan untuk meniup api di dapur yang dalam istilah Kerinci dinamakan “siun”. Di samping “lite”, orang Kerinci juga menggunakan takaran lain, yang
diistilahkan dengan “blek”. Orang
Kerinci tidak pernah memakai timbangan dalam bentuk kilogram dalam transaksi
beras. Hal itu menunjukkan rakyat Kerinci memiliki kemudahan mendapatkan beras.
Sehingga mereka tidak perlu terlalu “perhitungan” (baca: pelit) dengan adanya
kelebihan sedikit atau kurang sedikit pada saat penjualan atau pembelian. Cara
seperti itu sudah membudaya di tengah kehidupan sosial masyarakat Kerinci sejak
lama.
Sebagian besar
masyarakat Kerinci hidup dari sektor pertanian (agriculture). Bertani adalah bagian dari budaya (culture) masyarakat Kerinci. Sebagian masyarakat
Kerinci adalah petani kecil dengan luas lahan tidak lebih dari 1,5 hektar.
Sebagian masyarakat juga hidup sebagai buruh tani dan petani tanpa tanah.
Mereka inilah yang telah berjasa besar menyediakan kebutuhan beras untuk
masyarakat Kerinci dengan mengandalkan lahan-lahan sawah produktif yang masih
tersedia. Namun kini, kondisi lahan pertanian, dari waktu ke waktu, semakin menyempit.
Sebuah kondisi yang sangat memprihatinkan. Akan tetapi, tidak banyak yang
merasa peduli dan prihatin dengan kondisi yang demikian. Setiap waktu selalu
saja ada lahan sawah yang masih produktif dikonversi (dialihfungsikan) untuk
keperluan lain seperti untuk pembangunan rumah, jalan, sekolah, perkantoran, dan
lain sebagainya. Padahal, kondisi seperti itu dalam jangka panjang dapat
mengancam perekonomian masyarakat Kerinci. Masyarakat Kerinci akan mengalami
kesulitan dalam memenuhi kebutuhan beras untuk kehidupan sehari-hari jika hal
itu tidak diantisipasi sejak dini.
Alih Fungsi Lahan
Meningkatkan
produksi padi dan swasembada pangan (self-sufficiency)
adalah salah satu kewajiban Pemerintah, termasuk juga dalam hal ini adalah
Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah tidak boleh tinggal diam dalam hal
pemenuhan kebutuhan masyarakat akan beras. Oleh karenanya, Pemerintah Daerah
Kerinci dan Pemerintah Kota Sungai Penuh harus mengambil langkah dan kebijakan
(policy) yang tepat dalam rangka
mengamankan ketersediaan beras bagi masyarakat Kerinci. Langkah dan kebijakan
itu tidak hanya dalam bentuk mendatangkan beras dari luar daerah, tetapi juga harus
berupaya menjaga aktivitas pertanian di Kerinci sendiri. Salah satu langkah yang
harus diambil oleh Pemerintah Daerah adalah menjaga ketersediaan lahan sawah
yang subur untuk pertanian yang kian waktu kian berkurang akibat alih fungsi
lahan oleh masyarakat.
Saya teringat
masa kecil saya sewaktu melewati jalan-jalan di Kerinci. Dulu, tahun 90-an, di
kanan-kiri jalan masih terbentang luas lahan sawah yang subur. Padi yang hijau
menguning terlihat indah di kanan-kiri jalan. Namun kini, pemandangan itu tidak
ada lagi. Lahan subur itu telah dikonversi menjadi bangunan beton di
kanan-kirinya. Ada perasaan sedih menyaksikan kondisi itu. Mungkin, sebagian
orang mengatakan itu adalah indikasi kemajuan. Namun, bagi saya itu adalah
bentuk kekeliruan berpikir kita. Semestinya, kita berkewajiban menjaga lahan
persawahan tempat kita mengambil sumber makanan untuk kelangsungan hidup kita.
Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat sekalipun lahan pertanian tetap mereka
jaga dengan baik. Negara-negara maju sangat peduli dengan sektor pertanian yang
merupakan sektor primer dalam ekonomi. Namun ironis, dan saya tidak habis
pikir, di negeri kita yang makanan pokoknya adalah beras, justru lahan
pertanian malah kita habisi. Padahal, itu adalah sumber penghidupan kita dan kelangsungan hidup anak-anak cucu kita.
Kebijakan untuk Sektor Pertanian
Untuk
mengantisipasi lahan persawahan yang semakin menyempit, harus ada tindakan
kongkret dari Pemerintah Daerah, baik Pemkab Kerinci maupun Pemkot Sungai Penuh.
Saya sengaja menggunakan istilah “Kerinci” pada judul tulisan di atas karena
yang saya maksudkan bukan hanya Kabupaten Kerinci saja tetapi juga Pemerintah
Kota Sungai Penuh. Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh adalah satu. Ia
hanya terpisah secara administratif. Langkah konkret yang bisa ditempuh oleh
kedua Pemerintah Daerah itu ialah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang
larangan alih fungsi lahan sawah yang subur. Lahan sawah yang subur dan masih
produktif tidak boleh lagi dialihfungsikan untuk keperluan lain. Jika ingin
membangun pemukiman atau keperluan lain, masyarakat dapat memanfaatkan
daerah-daerah perbukitan yang masih kosong atau lahan-lahan lain yang bukan
merupakan lahan sawah yang masih produktif. Jika masyarakat tetap ngotot
melakukan alih fungsi lahan, maka Pemerintah Daerah dapat menerapkan sanksi yang
telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda). Tentu, dengan tetap memperhatikan
asas-asas keadilan dan kemanfaatan.
Di samping
mengeluarkan peraturan berupa Perda, Pemerintah Daerah (Pemkab Kerinci dan
Pemkot Sungai Penuh) juga harus melakukan upaya lain, yaitu mencetak lahan sawah
baru, membangun infrastruktur pertanian seperti irigasi, memanfaatkan teknologi
di bidang pertanian, pemanfaatan bibit unggul, penyuluhan, memberdayakan tenaga
profesional yang ada di instansi atau Dinas Pertanian, dan lain sebagainya. Langkah-langkah
seperti itu adalah salah satu bentuk upaya nyata (effort) dari kedua Pemerintah Daerah yang katanya “peduli” dengan
nasib rakyat Kerinci. Itu adalah bentuk kebijakan riil yang pro rakyat dan bermanfaat
ketimbang memikirkan persoalan-persoalan pribadi dan kelompok sendiri seperti urusan
“bagi-bagi” proyek, “bagi-bagi” jabatan dan pemutasian PNS yang “tidak karu-karuan”.
Saya berharap, persoalan ini dapat menjadi concern
(kepedulian) dari Bupati Kerinci terpilih pada Pemilukada Kerinci 2013.
NANI EFENDI
Pemerhati Masalah Sosial, Tinggal di Jambi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar