Minggu, 21 Juli 2013

Luka Sang Bunga (bag 3)

“Permisi, Pak. Saya mau cari buku sastra Indonesia, ada di bagian mana ya?”
“Di barisan E, neng. Dari sini eneng jalan lurus terus ke kiri.”
“Oke. Terima kasih yah, Pak.”
“Jangan manggil saya ‘Pak’. Mahasiswa disini biasa manggil saya Mang Endang.”
“Oh, oke deh Mang Endang yang kece” aku tertawa kecil menggodanya.
“Iya deh, Eneng?”
“Panggil saya Debby ya Mang.”
“Oh ya neng Debby, isi buku tamunya.”
“Hmm Mang, manggilnya jangan pakai eneng. Ya udah aku isi ya Mang.” “Terima kasih nih Mang.” Aku berjalan mengikuti arahan yang diberikan Mang Endang tadi.
Nah! Ketemu deh bagian Sastra Indonesia. Liat koleksinya dulu deh.
                Tak lama aku melihat-lihat koleksi di rak bagian atas, datang seorang lelaki berkulit hitam bercirikhas keturunan Arab.
“Hai! Suka baca buku Sastra juga” ucapnya mengagetkanku.
“Eh” aku menjatuhkan beberapa buku, “sorry sorry.”
“Nggak papa, santai aja. Sini gue bantu.”
“Thanks nih. Haduh gue kaget pas elu dateng.”
“Iya gue minta maaf juga ngagetin elu” merapihkan buku yang berjatuhan.
“Oh iya, gue Flo…” menggelengkana kepala, “sorry, gue Debby.”
“Oke. Gue Zahid. Mahasiswa Fakultas Ilmu Ekonomi.”
“Kalau gue dari Ilmu Komunikasi. Jurusan Public Relation.”
“Hm… Aneh yah kita bukan dari jurusan Bahasa, tapi ada di perpustakaan Bahasa.”
“Ya nggak salah sih. Tohh kalau kita suka sastra kenapa engga? Oh iya, lu dari Ilmu Ekonomi? Temen SMA gue ada tuh yang masuk situ. Lu kenal gak namanya Dhika. Muhammad Rodhika Lukmana.”
“Oh si anak petakilan itu.”
“Petakilan? Waduh baru seminggu kuliah disini tuh anak udah terkenal petakilannya. Emang sih sejak gue sekelas sama dia waktu SMA, gue sering banget ngomelin dia karena dia itu nggak bisa diem. Kadang suka gue cubitin. Tapi sebenernya dia itu baik dan pinter. Omongannya juga mantep buat jadi penasehat pribadi. Tapi yaa tingkahnya yang gak bisa diem itu yang nyebelin. Dulu sih dia juara kelas. Eh sorry nih, kok gue jadi ngebahas si Dhika deh?”
“Wah kayaknya lu tau banyak yah tentang Dhika. Dia mantan lu ya?”
“Hah?” aku terkejut, dengan terbata-bata aku menjawab “Engga kok. Kenapa kita jadi ngomongin hal yang gak seharusnya kita omongin sebagai perkenalan yah?”
“Ya bagus, Deb. Tandanya kan kita emang mudah nyambung.”
“Iya sih. Oh iya, duduk yuk.”
                Aku berbincang dengannya lebih jauh. Mengenal satu sama lain. Yang pasti masih masa-masa perkenalan. Handphone ku bergetar menandakan ada telepon masuk. Aku meminta izin pada Zahid untuk menjawab telepon itu dan aku segera mancari tempat yang pas untuk menjawab telepon.

“Halo. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
“Lu dimana, Flo?”
“Gue di perpustakaan Bahasa.”
“Gue mau ketemu lu dong.”
“Yauda lu kesini aja.”
“Gak mau. Ketemu di kantin aja ya. Sekarang.”
“Iya iya.” Aku kembali pada Zahid.
“Sorry nih, gue mau ke kantin dulu. Lu mau ikut?”
“Buku lu?” menunjukan buku yang ku ambil dari rak.
“Bawa aja deh, gue mau pinjem. Lu mau ikut gak?”
“Boleh.”
Kami berjalan menuju meja Mang Endang, aku mencatat beberapa hal yang harus ku catat karena aku meminjam buku ini.
“Terima kasih ya Mang Endang.”
“Iya neng. Eh Debby maksud saya.” Lalu kami berlanjut ke kantin.
                Di sepanjang jalan menuju kantin, aku dan Zahid tidak melanjutkan mengobrol. Zahid asik dengan handphonenya dan aku sibuk dengan jalan cepatku. Sesekali aku menoleh ke arah Zahid, memperhatikan apa yang ia lakukan. Sepertinya ia sedang mengajak temannya menuju kantin juga. Mungkin teman satu fakultas atau teman sekolahnya dulu. Sampai di kantin aku kembali menelpon manusia yang sedang merepotkanku itu. Ternyata ia telah duduk dan memesan bakso yang katanya enak di kantin kampus ini.
“Heh. Kenapa manggil gue? Nyuruh gue kesini segala lagi. Gue kan lagi asik baca buku sastra ini” menunjukan buku yang aku pinjam tadi.
“Eh… lu kan temen kelas gue deh” menyapa Zahid.
“Lah… Dhika? Oh jadi elu yang ganggu obrolan gue sama Debby di perpustakaan tadi.”
“Wiiihhh tadinya maksud gue mau ngajak Debby kesini, gue mau kenalin Debby ke elu, Hid. Kan kalian sama-sama suka sastra tuh. Pasti nyambung.”
“Ah alesan lu, bang! Lu nyuruh gue kesini kan karena lu kangen sama gue. Ya kan?”
“Kok tau si Neng?”
“Waduh Abang-Eneng. Kayaknya gue disini malah ganggu kalian deh” selak Zahid.
“Engga lah. Kan tadi gue bilang, justru gue mau bikin kalian saling kenal. Tapi eh udah kenal duluan.”
“Oh iya, ada temen gue nih mau kesini. Mending kita gabung aja. Gimana?”
“Boleh banget” jawabku antusias.
“Boleh-boleh. Kan sekalian dapet temen baru. Cewek apa cowok, Hid?”
“Cowok” ia mulai terlihat sedang mencari orang.
“Yah cowok, menang si Debby deh. Kan kalau cewek bisa gue deketin.”
“Dasar otak penjahat. Pikiran lu gitu mulu bang sama gue.”
“Nah itu dia temen gue” ia menunjuk ke salah seorang lelaki yang baru saja menginjakan kaki di kantin.
                Aku dan Dhika menoleh ke arahnya. Aku melihat satu orang lelaki dan satu orang perempuan sedang berjalan menghampiri kami. Perempuan itu berkerudung, cantik, tinggi, dan berkulit putih. Sedangkan yang lelaki, ia tinggi, badannya terlihat kekar, aku yakin dia seorang atlet.
“Wooaaah… Udah punya gebetan baru nih” ledek Zahid kepada dua orang itu.
“Iya dong. Emang elu, gangguin orang berduaan di kantin.”
“Engga kok. Emang dari tadi kita bertiga” aku menyelak.
“Engga lah. Yang bener itu gue ganggu si Zahid sama Debby di perpustakaan” sahut Dhika.
“Ya sudah. Yang penting kita harus kenalan dulu. Kan tak kenal maka tak sayang” ucap lelaki itu semakin membuat suasana nyaman dan bersahabat, “gue Tio.”
“Gue Dhika” ia menjabat tangan Tio, “kalau ini eneng gue, namanya Debby. Tapi maksudnya eneng itu cuma panggilan teman aja loh.”
“Hay gue Debby.”
“Gue Tio, dan yang ini Hilda. Kalian bisa kenalan masing-masing.”
                Kami melanjutkan perbincangan ini ke arah yang lebih akrab. Dhika dengan kebaikannya menraktir kita semua. Suasana semakin lunak setelah kami memang saling berbagi informasi satu sama lain. Pada konsepnya, semua pertemanan yang berlanjut ini berawal dari teman ke teman. Aku berteman dengan Dhika sejak SMA, Dhika berteman dengan Zahid karena satu jurusan, Zahid berteman dengan Tio karena dulunya mereka satu SMP dan janjian masuk ke Perguruan Tinggi yang sama, sedangkan Hilda adalah teman sekelas Tio. Saling berhubungan bukan? Memang pertemanan ini yang saling menguntungkan. Namun, aku masih tetap berharap ada benang yang menghubungkan aku dengan Riza, mahasiswa yang sedari awal masuk sudah menjadi gebetan. 
Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar