Nana si gadis desa. Memang bukan bunga desa karena wajahnya biasa saja. Tak banyak yang menyebutnya cantik walau tak jarang yang mengatakan bahwa ia berparas manis. Berasal dari keluarga yang dikenal cukup religious, namun Nana sama seperti teman-temanya, pernah mengalami masa remaja yang identik dengan istilah pacaran. Yah, kaki Nana sudah dua kali merasakan tendangan, tidak cukup sampai disitu, punggung Nana pun pernah jadi pendaratan darurat sekumpulan jagung kering yang melayang dari ayunan tangan Ayahnya yang oleh warga setempat dipanggil Pak Ustadz. Itu terjadi karena Nana melanggar aturan tak tertulis “No Pacaran!”.
Saat usianya belum genap 17 tahun, gadis desa yang dikata bandel itu memutuskan merantau ke Jakarta. Hmm, tentu saja kepergianya tanpa restu orang tua. Jakarta itu dikenal kota yang ‘keras’ dan keluarga Nana takut kerasnya Jakarta akan membuat si gadis desa itu jadi semakin keras, lebih tepatnya keras kepala. Bukan Nana namanya kalau dia mau nurut begitu saja! Karena kenyataanya ada banyak ‘misi’ yang dia sembunyikan di balik pikiranya (misi-misi tersebut tidak akan diceritakan disini).
Tujuh tahun sudah Nana hidup di ibukota jauh dari keluarga. See! Lingkungan yang diprediksi akan ‘merusaknya’ justru membuat Nana berusaha mendekatkan diri pada ILLAHI. Jilbabnya yang dulu dibongkar pasang pun kini ia pertahankan sebisa mungkin agar tak lagi menyingkap rambut panjang yang dulu kerap diumbarnya. Tangisan penyesalan akan kebandelan dirinya di masa lalu sering menghiasi hari-hari Nana. Dan harusnya Ayah Nana bangga karena sudah kurang lebih enam tahun gadis desa-nya sanggup memegang komitmen untuk no pacaran! (padahal semisal Nana mau lakukan pun Ayah-nya takkan tahu) Intinya Nana hanya ingin menjadi lebih baik.
Ah, jangan dibayangkan Nana masih unyu-unyu. Dia sendiri sudah merasa tua, akhir tahun nanti gadis desa itu genap berusia 24 tahun. Dia mulai tidak nyaman dengan status single-nya. Mungkin sebagian orang akan berpikir Nana terlalu munafik saat Nana mengatakan ia risih digoda laki-laki, ia tidak suka mendapat sms-sms gelap, apalagi sempat ada beberapa pria beristri yang merayu-rayu ga penting! (Huh, bagian terakhir penulis ikut emosi!) Kadang Nana marah kenapa ia mendapat perlakuan semacam itu? Apakah hal-hal tersebut lumrah terjadi pada seorang gadis selain Nana? Atau apakah karena Nana terlalu sensitive? Apapun itu fakta menyimpulkan kesendirian Nana membuat dirinya merasa ‘kurang aman’.
Lalu, banyak dari teman-teman Nana yang memahami kondisi tersebut mencoba menjembatani, membantu mengenalkan dengan sahabat-sahabat mereka. Nana pun turut memberikan kesempatan. Dan sejauh ini semuanya masih hanya teman bagi Nana. Diantara mereka belum ada yang mampu menaklukan hati Nana. (Ah, Nana laki-laki mana yang kamu mau?) Nana heran kenapa cara teman-temanya mencomblangi itu sama? Inilah yang kurang lebih disampaikan: “InsyaAllah dia laki-laki sholeh dan bisa ngaji, Na. Gajinya sudah sekian juta, sudah punya ini, sudah punya itu. Kamu gakan nyesel kalau jadi dengan dia..” Hmm, nyatanya Gadis desa itu tetap bergeming. Tak mudah dipancing. Belum berani mengambil keputusan apa-apa. Itulah Nana.
Penulis:
Nailil Bariyah Nuril Anwar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar