Jumat, 19 Juli 2013

Penguatan Pengawasan Pemilu

Oleh : Murlinus, SH., MH

Jika ditelaah secara yuridis dari yang diatur dalam undang-undang tentang Penyelanggara Pemilu, ada beberapa persoalan yang mendera lembaga pengawas tersebut. 
Pertama, Kewenangan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang sangat kurang mendukung kinerja optimal Panwaslu. Kewenangan yang ada selama ini hanyalah sebagai lembaga pemberi stempel atau pengirim persoalan saja. Menurut Hidayat Nur Sardini,(Mantan Ketua Bawaslu Pusat), kedepan Bawaslu dan Panwaslu harus dipegangi semprit bukan hanya sekedar sebagai wasit atau hakim garis saja, sementara kewenangan untuk memutuskan sanksi pelanggaran pemilu ada di KPU dan Kepolisian. Terkait dengan kewenangan ini, Topo Santoso juga menegaskan penguatan Bawaslu/Panwaslu dengan penambahan kewenangan seperti hak untuk menyelidiki atau melakukan penyidikan terhadap pelanggaran, sulit dilakukan karena Bawaslu/Panwaslu tidak didesain untuk memiliki kewenangan yang demikian.
Keberadaan Bawaslu/Panwaslu dengan kewenangan yang demikian memang sangat sulit untuk dapat bekerja secara optimal. Lebih-lebih jika lembaga terkait dengan penanganan pelanggaran pemilu tidak bekerja secara sinergis masyarakat akan begitu saja menimpukkan kelemahan penanganan pelanggaran pemilu kepada Bawaslu atau Panwaslu tanpa mencoba memahami persoalan yang sebenarnya. Persoalan pelanggaran pemilu merupakan persoalan yang pelik dan memiliki sensitifitas yang besar yang menuntut ketulusan, kerja keras dan juga pemahaman secara sosiologis atas pelaku dan budaya di masyarakat dalam penanganannya.
Kedua, penguatan Panwaslu provinsi dan kabupaten/kota yang selama ini hanya sebagai lembaga yang ad hoc menjadi lembaga yang permanen seperti KPU provinsi dan kabupaten/kota. Lembaga yang bersifat ad hoc dalam bekerjanya akan menghadapi persoalan yang komplek. Dari aspek personal para anggota rata-rata para muka baru. Mereka membutuhkan waktu yang cukup untuk dapat memiliki pemahaman untuk penyamaan persepsi, visi, misi dan tujuan serta mekanisme kerja. Padahal tuntutan tugas sudah sangat mendesak. Kesulitan ini juga dikarenakan latar belakang mereka sangat heterogen.
Dengan kedudukan sebagai lembaga yang tetap kemungkinan besar problematik tersebut dapat dihindari. Selain itu jika dengan ditetapkannya Panwaslu sebagai lembaga yang permanen akan menimbulkan dampak psikologis bagi kesetaraan dengan KPU setempat oleh para anggotanya. Para anggota Panwaslu akan dapat bekerja dengan kesinambungan program dan kondisi personal yang stabil karena lamanya keberadaannya.
Ketiga, persoalan rekrutmen anggota Panwaslu. Rekrutmen anggota Panwaslu ke depan seharusnya dilakukan sendiri oleh Bawaslu bagi Panwaslu provinsi dan Panwaslu provinsi bagi anggota Panwaslu kabupaten/kota. Jika hal ini dapat terjadi maka anggota Panwaslu terpilih minimal akan dapat memenuhi kualifikasi personal, sosial, intelektual yang dibutuhkan sebagai anggota Panwaslu.
Selama ini rekrutmen terhadap calon anggota Panwaslu kabupaten dan kota misalnya dilakukan oleh KPU setempat. Proses seleksi administratif selama ini dilakukan oleh KPU setempat dengan hanya mendasarkan pada kapasitas intelektual berupa hasil tes. Setelah ditetapkan oleh KPU sejumlah peserta yang ditetapkan kemudian dilanjutkan seleksinya oleh Panwas provinsi untuk melihat kapasitas personal, kelembagaan serta komitmen dalam membangun Panwaslu yang mandiri dan profesional ke depan.
Ke depan seleksi harus sepenuhnya dilakukan oleh Panwaslu sendiri secara berjenjang. Jika dalam proses seleksi pihak selektor tidak konsisten dan menyalahgunakan kewenangan ke depan akan sangat nampak dari kinerja Panwaslu yang telkah direkrut sendiri. Karena merekalah yang sangat paham akan kebutuhan dan kapasitas anggota Panwaslu yang direkrut.
Keempat, harus ditegaskan hubungan antar tingkatan Panwaslu tersebut. Selama ini
ketentuan dalam undang-undang tidak mengaturnya. Setiap tingkatan Panwaslu tentu akan menampilkan gaya dan kinerja yang berbeda-beda yang jika tidak sesuai dengan harapan dan tuntutan justru akan melemahkan Panwaslu itu sendiri. Sebagai bentuk dari akuntabilitas publik kedepan Bawaslu/Panwaslu dari setiap tingkatan yang jika kelak dipermanenkan dapat menjadi lembaga objek gugatan terutama terkait dengan keputusan yang dikeluarkannya sebagaimana yang terjadi di KPU selama ini.
Dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada Pasal 252 ada ketentuan jika Pengawas Pemilu Lapangan tidak melakukan pengawasan penyerahan kotak suara tersegel kepada PPK dan Panwaslu kecamatan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel kepada KPU kabupaten/kota diancam dengan pidana penjara. Tugas pengawasan ini merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh mereka sebagai mana ditentukan dalam Pasal 139 ayat (6) Undang-undang Pilpres. Dalam undang-undang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD yakni UU No 10 Tahun 2008 pada Pasal 310 juga diatur ancaman hukumam bagi Ketua dan anggota Bawaslu dan jajaran Pengawas Pemilu di tingkat bawahnya yang dengan sengaja tidak menindaklanjuti temuan dan/atau laporan pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU dan jajaran penyelenggara di bawahnya. 
Keberadaan Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan (Panwaslucam) selama ini juga tidak jelas hubungannya dengan Panwaslu di atasnya. Kedepan dua tingkatan pengawas ini sebaiknya diposisikan sebagai bagian/perangkat pendukung Panwas kabupaten dan kota. Salah satu alasanya terkait dengan level lembaga pemegang semprit dalam pelanggaran pemilu, yaitu KPU dan Kepolisian. Sedangkan Panwaslu kabupaten dan kota ke atas memiliki hubungan yang herarki. Belum optimalnya tugas pengawasan Bawaslu dan Panwaslu tidak dapat semata-mata ditimpukkan ke lembaga tersebut. Tidak sedikit kasus pelanggaran pemilu yang berhasil ditangani dengan meneruskan ke lembaga yang berwenang. Hanya saja memang belum sebanding dengan banyaknya pelanggaran yang terjadi. Untuk itulah peran serta masyarakat, partai politik, pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, pemantau dan juga penegak hukum diharapkan memberikan sumbangsihnya sesuai dengan peran, tugas dan kewenangannya masing-masing. Bawaslu/Panwaslu bukanlah lembaga yang memiliki kapasitas (kewenangan) seperti yang diharapkan oleh publik. Bawaslu/Panwaslu juga harus diberi ruang yang cukup serta perlindungan yang memadai dalam melaksanakan kewenangannya. Para anggota Bawaslu/Panwaslu harus terbebas dari segala tekanan dan ancaman baik fisik maupun psikis dari pihak yang sedang ditangani. Budaya hukum yang demikian harus mulai dibangun melalui peserta parpol beserta simpatisannya.

Murlinus, SH., MH
Dosen Hukum Administrasi Negara STIA-NUSA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar