Senin, 19 Agustus 2013

Politik Komunal di Negara Demokrasi


Oleh : Agung Iranda

Sejak Reformasi 1998, Indonesia mengalami satu fase yang kurang menguntungkan, terutama yang berkaitan dengan demokrasi. Di mana bentuk nyata yang dirasakan rakyat berupa hajat pemilu, serta diberlakukannya pemilihan kepala daerah di masing-masing tempat. Jika kita menyimak kembali tujuan reformasi, ada beberapa hal yang harus menjadi patokan, pertama bahwa reformasi adalah usaha untuk membebaskan rakyat dari kezaliman penguasa, sikap sewenang penguasa tertentu yang mengutamakan kepentingan pribadi di atas pondasi kekuasaan adalah kutukan bersama. Yang kedua bahwa reformasi menuntut ke ikutsertaaan rakyat secara aktif dalam rangka membangun cita-cita bersama, terutama berkaitan dengan keadilan dan kesejahteraan rakyat, yang merupakan slogan penting dari Khebinekaan NKRI yang tetap utuh hingga kini. 
Fenomena politik yang berkembang di tengah masyarakat saat ini, justru menunjukkan bentuk kontradiktif dari nilai-nilai demokrasi. Hal ini terlihat jelas dalam hajat pemilukada, di mana terjadi pengelompokkan rakyat dengan dalil kebebasan berekspresi, sehingga rakyat terbagi-bagi ketika menentukan siapa jagoan yang pantas memimpin mereka. Masing-masing kelompok mempunyai andalan dan kepentingannya sendiri.  Kelompok itu bisa berupa kumpulan desa, kecamatan, suku, ras atau bahkan agama.
Sikap Komunal yang menjangkiti masyarakat bukan tanpa alasan, ada beberapa pertimbangan mengapa rakyat cendrung memilih pemimpin dari kalangan desa, suku, ras, dan agamanya sendiri. Pertama, secara sosio emosional rakyat cendrung lebih dekat dengan orang yang satu identitas dengan dirinya. Kedua secara rasional, bahwa pemimpin yang berasal dari kalangan  tertentu, jika terpilih akan lebih terdorong berbuat banyak terhadap kalangan tersebut. Ketiga, kalangan yang mempunyai basis populasi terbanyak relatif akan lebih unggul di dalam pemilukada.
 Sebenarnya jika kita cermati lebih detail lagi dalam kerangka demokrasi, ini bukanlah bentuk penyimpangan. Hanya saja dalam pelaksanaannya, pemilukada kerap melahirkan jagoan yang hanya berbuat untuk kepentingan kelompok sendiri. Imbasnya terjadi penyalahgunaan kekuasaan, Penggunaan APBD hanya untuk segelintir orang, hingga praktek korupsi.  .  Menurut data kemendagri (2013) terdapat 291 kepala daerah yang terjerat dalam praktek korupsi, diantaranya gubenur 21, wakil gubenur 7 orang, serta bupati/walikota 197, serta wakil bupati dan wakil walikota 66 orang selama 9 tahun terakhir.
            Hal lainnya terdapat banyak daerah yang belum siap melepaskan identitas kesukuannya, ini umumnya menyebar merata di setiap daerah, sebut saja papua, Kalimantan, Sulawesi, sumatera utara, aceh, minang, sunda, termasuk Kerinci atau bahkan daerah paling majemuk Jakarta sekalipun tak luput dari intrik-intrik politik komunal, dalilnya beragam dari suku, agama, ras dan lain sebagainya.
            Pemilukada tidak lagi di jadikan ajang untuk beradu gagasan, visi, dan kematangan dalam mengurus daerah. Justru lebih banyak menjual popularitas dari sikap komunal tersebut. Jika politik komunal ini terus ada dan berkembang, dampaknya beragam, dipastikan bahwa dalam politik komunal membawa kekuasaan ke arah corak pemerintahan oligarki. Artinya Bupati atau Gubenur terpilih akan memusatkan perhartiannya pada kelompok kecil yang tidak menyeluruh. mereka lebih  banyak berbuat berdasarkan syahwat kekuasaan pribadi. Ini merupakan akal primitif yang keliru ditengah egaliterian masyarakat yang merupakan indikator utama  dalam mewujudkan cita-cita demokrasi. Hal ini senada dengan apa yang dikhawatirkan jacques Ranciere puluhan tahun silam, tentang negera demokrasi, dengan pemerintahan demokrasi justru berjalan menuju kekuasaan-kekuasaan oligarkis.
            Selain itu Negara dalam hal ini Kemendagri, KPUD dan elemen terkait, harus mampu menciptakan pemilukada yang professional, yang mengarah pada terpilihnya pemimpin yang di idamkan secara bersama, sehingga tidak muncul rasa tidak percaya masyarakat terhadap pemimpin, minimal rakyat mengerti dan mau turut aktif dalam mendukung program yang ditawarkan oleh pemimpin mereka, walaupun meraka bukanlah konstituen dan partisipan pada Pemilukada.
Partai politik juga memiliki peran strategis, terutama perannya dalam sosialisasi politik, bentuk konkretnya memperkenalkan teknis atau aturan main yang professional ditengah masyarakat. Selain itu partai politik  harus mengadakan pendidikan politik yang merata, agar kebekuan masyarakat dalam memahami demokrasi bisa mencair, dan sikap apatis rakyat bisa berubah menjadi lebih aktif dan produktif terutama dalam menciptkan kehidupan demokrasi yang harmonis dan memiliki daya guna dalam kehidupan sehari-hari.
            Solusi tepat untuk mengatasi problem ini adalah perlunya usaha sungguh-sungguh , yang di iringi dengan niat yang tulus. Para politisi, akademisi, ataupun tokoh masyarakat harus mampu mendudukkan kembali makna demokrasi, agar tujuannya tidak ambigu, bahwa demokrasi benar-benar harus melepaskan diri dari nafsu pribadi, menuju kemaslahatan bersama. Agar tujuan Negara yang terangkai dalam falsafah Negara berupa pancasila bisa tercapai lewat lokomotif demokrasi yang memang harus selalu memihak pada rakyat. 

                                                                                   
                                                                                                Agung Iranda
Aktivis HMI dan Ketua Umum IPMK (Kerinci) Yogyakarta 2012
087838846521                     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar