Sabtu, 17 Agustus 2013

Saya Bangga Dengan Khibenekaan Bangsa

Anies Baswedan : Rektor Paramadina dan Penggagas Indonesia Mengajar
 
Kerincisungaipenuh.com - Masalah yang paling krusial tentang infrastruktur pendidikan saat ini adalah jumlah sekolah—SD , SMP, SMU, dan SMK yang tidak proporsional. Jumlah SD sekitar 165.000 dan SMP hanya 39.000. Kita bisa bayangkan SD ada di mana-mana, sedangkan SMP hanya di tingkat kecamatan. Dengan contoh seperti itu, fasilitas pendidikan pasti harus disediakan secara memadai. Berikut petikan wawancara dengan Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina dan penggagas Indonesia Mengajar.

Bagaimana pandangan Anda tentang kondisi pendidikan nasional saat ini?
Pertama, kita mesti bersyukur. Kondisi jauh lebih maju dibandingkan ketika kita menyatakan merdeka. Saat merdeka, 95% rakyat buta huruf. Hari ini, kita berhasil memutarbalikkan sehingga tingkat buta huruf tinggal 8%. Tak banyak bangsa yang bisa mengonversi populasinya dari total illiteracy menjadi total literacy.

Prestasi lain, angka partisipasi pendidikan dasar hampir setara dengan negara-negara di Asia yang berpenghasilan per kapita lebih tinggi. Melalui ekspansi yang cepat, sistem pendidikan kita menunjukkan tingkat cakupan yang tinggi. Dalam tiga dekade terakhir, jumlah mahasiswa meningkat signifikan.

Itu prestasi kolosal dan kita boleh bangga. Tapi daftar masalah yang belum terselesaikan masih panjang. Fasilitas pendidikan, kualitas pendidikan, dan akses pendidikan adalah elemen utama. Contohnya, guru masih kekurangan walau jumlahnya cukup banyak. Distribusinya belum merata. Survei Bank Dunia menyebutkan 34% sekolah di Indonesia masih kekurangan guru, dan 66% sekolah di daerah terpencil kekurangan guru.

Menurut Anda, sistem pendidikan nasional seperti apa? Bagaimana dengan UU Sisdiknas?
Secara konstitusional, pendidikan adalah tugas pemerintah. Pendidikan harus bisa membentuk manusia yang memiliki nilai kepribadian, baik rasa kebangsaan yang tinggi, menguasai ilmu pengetahuan, dan berwawasan global. Namun, pendidikan bukan hanya tugas pemerintah. Mendidik adalah kewajiban moral tiap orang terdidik. Pendidikan adalah Gerakan Semesta, semua orang perlu turun tangan. UU Sisdiknas hanya satu dari usaha perbaikan, namun bukan satu-satunya yang paling berperan.

Apa pendapat Anda tentang sekolah-sekolah yang berlomba memasang label internasional?
Standar internasional itu bukan pada bangunannya atau pada fasilitas mewahnya. Tapi pada konten pendidikannya. Jadi, sebuah sekolah yang sekarang beramai-ramai menyebut nama sekolah global itu belum tentu secara konten bisa menyiapkan anak-anak kita untuk masa depan yang baik. Yang saya khawatirkan sekolah-sekolah itu melihat ini sebagai bisnis semata. Kalau berbicara global, anak-anak kita harus siap bermain di skala global. Minimal kita harus bermain di skala ASEAN.

Anda dikenal sebagai penggerak Indonesia Mengajar dengan mengirim tenaga pendidik ke wilayah terpencil. Apakah itu sekadar proyek jangka pendek?
Indonesia Mengajar merupakan sebuah ikhtiar untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Indonesia Mengajar tak berpretensi menyelesaikan seluruh persoalan pendidikan di Indonesia. Kami meyakini bahwa kehadiran putra-putri terbaik Indonesia sebagai guru di berbagai pelosok Indonesia akan ikut mendorong peningkatan kualitas pendidikan kita. Ini negeri besar dan akan lebih besar.
Dalam program Indonesia Mengajar, kami mengerahkan anak-anak muda sarjana menjadi guru di daerah terpencil. Saat ini, Indonesia Mengajar sudah menjangkau 16 Kabupaten, mulai dari Aceh hingga Papua, mulai dari Sangihe di utara hingga Rote Ndao di selatan.

Apa yang membuat Anda masih bangga dengan Indonesia?
Republik ini bukan hanya menjadikan hidup kita baik. Dengan segala macam masalahnya, kita saat ini jauh lebih baik dibandingkan dulu. Kebhinekaan kita ini sungguh luar biasa. Tidak banyak negara di dunia yang bhineka dan berbicara satu bahasa seperti kita. Kita harus bangga akan bangsa ini. (sindoweekly-magz.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar