Oleh: BUKHARI MUALLIM
Ada tiga kata kunci saling bertaut yang membuat HMI begitu memukau sampai hari ini. Tiga kata kunci itu ialah “tradisi intelektual”, “perkaderan”, dan “independensi”. Tiga hal inilah, menurut saya,yang telah menjadikan HMI sebagai organisasi mahasiswa terkemuka di Indonesia. Penilaian saya terhadap HMI dalam tulisan saya ini bukanlah dalam kapasitas saya sebagai kader HMI. Saya akui, saya bukanlah kader HMI dan saya juga bukan alumnus HMI. Namun, saya telah lama bersimpati, berkenalan, dan bahkan mengenal HMI sampai batas-batas yang jauh. Saya memang telah lama menyelami dunia HMI. Saya banyak mengenal dan mengagumi tokoh-tokoh HMI di level nasional, di antaranya: cendikiawan muslim Nurcholish Madjid, Akbar Tandjung, Mahfud MD, Jusuf Kalla, Yusril Ihza Mahendra, Ahmad Syafii Maarif, Mar’i Muhammad, Sulastomo, Malik Fajar, , Fachry Ali, Abraham Samad, Komaruddin Hidayat, dan lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari, saya juga mempunyai banyak teman-teman dari aktivis HMI, baik yang masih aktif maupun yang sudah alumni yang saat ini telah menjadi anggota KAHMI (Korps Alumni HMI), seperti Bang Nuzran Joher (mantan anggota DPD RI), Bang Fadli, Norzal Hadi, Saiful Roswandi, Doni Umar, Nani Efendi, Opper Antoni, Anggara, Wira dan lainnya. Saya mengenal mereka secara dekat serta bergaul secara intens dan akrab. Saya banyak belajar dari mereka. Jujur, saya mengagumi mereka.
Pemahaman dan pengalaman politik
yang saya dapatkan selama bergaul dengan kader-kader HMI telah memberikan
pencerahan yang luar biasa. Dalam konteks keindonesiaan, Ilmu Politik (political science) yang secara akademik
saya pelajari di almamater saya,
Universitas Ekasakti Padang, tapi saya menemukan
sesuatu berbeda dan khas ketika saya mempelajarinya dari aktivis-aktivis
HMI di dunia nyata. Bagi saya, memahami
Indonesia melalui buku-buku rasanya belum memadai. Saya merasa banyak mendapat masukan
dalam memahami Indonesia yang sebenarnya ketika saya berdiskusi
bersama orang-orang HMI. HMI telah memberikan pencerahan (enlightenment) yang luar biasa pada diri saya. Di organisasi ini,
saya bisa mengasah ketajaman pikiran dan
memperluas wawasan dan cakrawala berpikir, mulai dari wawasan keislaman,
wawasan kemahasiswaan, sampai wawasan
kebangsaan. Di organisasi yang didirikan di Yogyakarta
oleh Lafran Pane ini juga saya bisa berdiskusi
dengan banyak teman yang berasal dari latar
belakang yang berbeda-beda. Yang jelas, banyak ilmu yang saya dapatkan
dari aktivis-aktivis HMI. HMI telah menanamkan jiwa nasionalisme yang kuat pada
diri saya. Ketika berada di “lingkaran dalam” HMI, saya melihat Indonesia dalam
perspektif “lain”, khas, istimewa, dan sangat berbeda. HMI, menurut saya, adalah
salah satu “pintu gerbang” untuk menjadikan seseorang mencapai posisi sebagai
tokoh nasional di negeri ini.
Ladang Pergulatan
Intelektual
Dalam pandangan saya selama bergaul dan bercengkrama
dengan kader-kader maupun para alumni HMI, di antara yang sangat saya kagumi
dari mereka adalah tradisi intelektual. Tradisi intelektual seakan telah menjadi bagian dan jati diri HMI.
Mereka memiliki tradisi berwacana, membaca, menulis, dan ini sangat membantu saya dalam menjalankan
aktivitas sebagai akademisi. Kader HMI sangat getol
menulis. Tradisi berwacana di HMI mengingatkan saya pada tradisi berwacana para
founding father bangsa ini. Para founding father bangsa Indonesia seperti Bung Karno, Bung Hatta,
Bung Sjahrir, dan lain-lain, berhasil mendirikan Negara ini karena berawal dari
tradisi berwacana.
Pergulatan ide
dan pemikiran di HMI benar-benar hidup. Berwacana dan berdiskusi adalah salah
satu cara mereka menemukan ide-ide segar dan cerdas untuk mencarikan solusi
terhadap berbagai problem umat dan problem bangsa. Berpikir, berdebat,
berdiskusi, berpolemik (berdebat lewat tulisan), berdialektika, melakukan
kajian dan penelitian ilmiah, membaca, menulis, dan lain sebagainya, adalah
beberapa hal yang merupakan bentuk aktivitas
kaum intelektual. Mereka juga mempunyai kepedulian yang tinggi (sense of crises) terhadap berbagai
persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua aktivitas intelektual itu secara
terpadu jarang saya lihat di banyak organisasi yang ada, kecuali di HMI.
HMI, bagi saya, adalah ladang pergulatan intelektual
yang sangat intens, di samping kampus formal saya tentunya. Saya menganggap HMI
adalah “almamater kedua” (the second campus) saya meskipun saya tidak pernah dikaderkan secara formal di HMI. Di
samping menyelesaikan studi di perguruan tinggi, HMI memberikan kontribusi yang
tidak sedikit terhadap perkembangan intelektual saya. Selama bergaul dengan rekan-rekan
aktivis HMI, saya merasa mendapat
kesempatan lebih banyak untuk mendalami berbagai
disiplin ilmu seperti agama (tasawuf dan fiqh), ideologi, filsafat, hukum,
sosial, politik, ekonomi, manajemen, kepemimpinan, dan lain sebagainya.
Saya banyak berkecimpung dalam
organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan baik di level daerah maupun nasional,
tapi saya merasa tidak banyak organisasi kemahasiswaan
di Indonesia yang mempunyai peran besar dalam mencetak kader bangsa seperti
halnya HMI. HMI harus kita akui sebagai organisasi perjuangan yang telah banyak
memberikan kontribusi besar dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, baik
pada skala nasional maupun skala lokal. Sejak didirikan pada 1947 sampai hari ini,
HMI selalu mengambil peran strategis dalam transformasi sosial di Indonesia.
Pada 1965, Ketua CC PKI DN Aidit secara terang-terangan menganggap HMI adalah
musuh kuat yang harus dihancurkan. Namun, kenyataannya, HMI tetap survive hingga hari ini. Oleh karenanya,
diakui atau tidak, HMI telah banyak memberikan pencerahan dan pendidikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. HMI bukan hanya pencetak kader
politik, namun lebih dari itu, HMI adalah pencetak kader umat dan kader bangsa.
Ia adalah salah satu barometer organisasi kemahasiswaan dan organisasi
intelektual papan atas di Indonesia.
Perkaderan dan
Independensi
HMI adalah organisasi perkaderan. Perkaderan di HMI
tidak pernah vakum. Setiap saat, dari Sabang sampai Merauke, selalu lahir kader-kader
bangsa dari rahim HMI. Perkaderan mereka sangat established. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan jika ada
ungkapan, “Tiga perkaderan yang dikagumi
dan ditakuti di Indonesia, yaitu TNI, PKI, dan HMI.” Di samping itu, ada
satu hal lagi yang menurut saya menjadikan HMI cukup prestisius sampai hari ini,
yaitu independensi. Dengan independensi, HMI selalu mampu “menjaga jarak”
dengan kekuasaan. Dengan kata lain, HMI tidak bisa dijadikan sebagai alat
kekuatan politik manapun. Dan memang, ia bukanlah onderbouw dari partai politik tertentu. Ia benar-benar independen. Karena
itulah, kader-kader HMI memiliki kebebasan berpikir dan berdialektika tanpa
harus mengikuti atau taklid pada satu warna dan mazhab pemikiran, mazhab agama,
maupun mazhab politik. Oleh karenanya, di HMI tumbuh subur berbagai pemikiran
cerdas dan positif terhadap berbagai persoalan keumatan dan kebangsaan.
BUKHARI MUALLIM
Pengamat Politik dan Alumnus Fisipol Universitas
Ekasakti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar