Oleh: SEPTA DINATA
Beberapa hari sebelum Pemilukada, masyarakat Kerinci dikejutkan oleh keputusan DKPP yang memecat secara permanen 5 komisioner KPUD Kerinci. Hal ini dianggap sebagai klimaks dari masalah demi masalah yang mendera mereka selama ini.
Sebelumnya, mereka mengeluarkan keputusan “berani” mengeleminasi salah satu kandidat dari jalur perseorangan. Keputusan KPUD itu tidak terima oleh kandidat tersebut dengan mengajukan gugatan dan pengaduan ke DKPP. Namun, walaupun 5 komisioner KPUD dipecat, pihak penggugat tetap belum puas karena hak konstitusional mereka sebagai peserta pemilukada tidak dipulihkan.
Insiden ini mengundang publik bertanya-tanya, ada apa dengan
pemilukada Kerinci. Publik mencium ada konspirasi
besar di balik itu semua. Dugaan bahwa ada pihak yang bermain di balik ini semakin kuat.
Akhirnya, pemilukada Kerinci diambil alih oleh KPUD Provinsi Jambi
dan tetap dilaksanakan pada 8 September 2013. Pelaksanaan pemilukada itu
ternyata menambah deretan panjang masalah yang melilit pemilukada Kerinci.
Terjadi simpang siur informasi hasil perhitungan sementara pemilukada.
Dari 6 pasangan kandidat yang bertarung, terjadi persaingan ketat
antara kandidat nomor 2 dan nomor 3. Karena terdapat perbedaan tipis yang tidak
sampai 2%, masing-masing kandidat mengklaim diri sebagai pemenang sementara
pemilukada. Berdasarkan hasil perhitungan cepat Kesbangpol Pemda Kerinci,
kandidat nomor urut 3 unggul tipis dari kandidat nomor urut 2. Sebagian
kalangan menganggap perhitungan cepat itu sarat dengan rekayasa karena pasangan
yang “dimenangkan”nya adalah petahana.
Di lain pihak, jauh sebelum putusan DKPP, sekelompok masyarakat
melayangkan gugatan ke PTUN. Mereka menggugat pelaksanaan pemilukada yang tidak
sah karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasalnya, keputusan pembentukan PPK oleh ketua KPUD dilakukan satu hari sebelum
ia dilantik. Dengan demikian, menurut mereka, PPK yang menyelenggarakan
Pemilukada Kerinci adalah illegal.
Berbagai masalah yang tersebut membuat nasib Pemilukada Kerinci
semakin tidak jelas. Publik dihadapkan dengan kondisi yang membingungkan.
Masalah-masalah tersebut sangat potensial menjadi bahan gugatan bagi
kandidat-kandidat yang kalah. Bahkan, masalah-masalah ini sangat mungkin akan memicu
konflik horizontal seperti yang terjadi pada pemilukada sebelumnya.
Potensi Konflik Horizontal
Kerinci termasuk daerah yang memiliki tingkat kerawanan konflik
horizontal sangat tinggi. Hal itu dimungkinkan karena kultur masyarakatnya yang
egaliter dan terkotak-kotak berdasarkan rumpun-rumpun adat. Sistem kepimpinan
adat yang lebih mirip dengan presidium dan tidak memiliki model kekuasaan raja
tertinggi, membuat masing-masing rumpun itu setara.
Pada pemilukada sebelumnya, terjadi konflik horizontal antara
rumpun adat Semurup dan Siulak. Mereka memiliki jagoan masing-masing. Setelah
hasil pemilukada diketahui, pihak yang kalah tidak bisa menerima dengan
melakukan pemblokiran jalan.
Perkelahian antar masyarakat, khususnya pemuda, juga jamak terjadi
di Kerinci. Perkelahian tersebut seringkali memakan korban nyawa dan pembakaran
rumah. Di Siulak, tempat berasal dua kandidat yang memperolah suara unggul saat
ini, pernah terjadi pembakaran puluhan rumah masyarakat Siulak Gedang oleh
masyarakat Siulak Mukai. Inilah salah satu yang membuat khawatiran terulangnya
konflik tersebut karena kandidat nomor 2 berasal dari Siulak Gedang dan
kandidat nomor 3 berasal dari Siulak Mukai.
Seperti yang terjadi di banyak tempat lain, wacana yang
dikembangkan pada Pemilukada Kerinci sarat dengan SARA, khususnya wacana
kesukuan. Secara garis besar, Pemilukada mengakibatkan masyarakat Kerinci
terkotak secara politik menjadi tiga: Kerinci Mudik, Kerinci Tengah, dan
Kerinci Hilir. Hal ini tentu akan menambah potensi konflik horizontal.
Kearifan Lokal
Sepintas lalu, demokrasi yang sarat kecurangan, dapat dikatakan
telah mengancam kearifan lokal di Kerinci. Selama ini, peran kaum adat cukup
signifikan dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat. Nasehat mereka masih di dengar, petuah mereka masih
dipatuhi oleh anak batino dan anak
jantan. Lalu, masih realistiskah kita berharap kaum adat masih bisa
menjadi penengah atas masalah ini?
Kewibaan kaum adat tidak lepas dari kebijaksanaan-kebijaksanaan
dan sikap netral mereka, seperti pepatah mengatakan, “Anak dipangku, kemenakan dibimbing”. Namun, sejak pemilukada secara
langsung, kewibaan mereka sudah mulai berkurang. Mereka sudah mulai tidak
netral. Secara sadar atau tidak, mereka sudah menjadi komoditas politik.
Dari dua pemilukada, pemilukada Sungai Penuh dan pemilukada
Kerinci, mereka secara terang-terangan menyatakan dukungan kepada salah satu
kandidat. Bahkan, mereka menggunakan pakaian kebesaran mereka ketika
mengantarkan kandidat mendaftarkan diri sebagai peserta pemilukada.
Pertanyaannya, bagaimana jika anak
jantan dan anak
batino memiliki
pilihan politik yang berbeda dengan mereka? Akankah mereka dianggap tidak lagi
patuh dengan pemangku adat?
Dari pengalam-pengalaman yang telah ada, lembaga-lembaga resmi
negara terbukti banyak tidak bisa menyelesaikan masalah, malah menambah
masalah. Di Kerinci, kita masih menaruh harapan besar kepada pemangku-pemangku
adat untuk bisa menjadi orang yang bersuluh, yang tahu keluar masuk; pemegang
cermin dan lantak, cermin tidak
kabur dan lantak tidak goyang; yang memenggal dan
memutus, yang tahu benar dan salah. Betapa indahnya jika delapan Depati penguasa
Kerinci bisa duduk bersama, bergandengan tangan, dan penuh dengan rasa
kekeluargaan membicarakan nasib anak jantan dan anak batino.
SEPTA DINATA
Pegiat
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jakarta Raya dan Mahasiswa Universitas
Paramadina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar