Oleh: NANI EFENDI
Pelaksanaan penerimaan tes CPNS saat ini benar-benar telah sampai pada taraf yang mengkhawatirkan. Betapa tidak, untuk menjadi CPNS saat ini, pihak-pihak tertentu sudah memasang ”tarif” puluhan, bahkan sampai ratusan juta rupiah. Tidak tanggung-tanggung, saat ini, ”tarif” yang dipasang berkisar Rp150 juta hingga Rp200 juta. Seperti orang lelang, siapa yang mampu membayar lebih tinggi,
merekalah yang bisa lulus. Benar-benar perbuatan zalim dan sudah keterlaluan.
Kalau sudah seperti ini sistem yang diterapkan, maka orang-orang yang
berkualitas dan kompeten (sophisticated)—tetapi
tidak punya uang, atau tidak mau melakukan sogok-menyogok—hanya
bisa gigit jari melihat mereka-mereka yang lulus dengan cara menyogok puluhan
juta rupiah itu.
Pengadaan tes CPNS dari tahun ke tahun, oleh pihak-pihak tertentu, sudah dijadikan ”ladang
bisnis” untuk memperkaya diri pribadi,
keluarga, dan golongannya. Belum lagi dengan adanya istilah ”jatah”. Layaknya sistem feodal, mereka seolah-olah sudah menganggap pemerintahan ini adalah warisan nenek moyang
mereka yang harus mereka wariskan secara turun-temurun. Mereka merasa rugi kalau ada
masyarakat umum yang menjadi PNS dengan cara ”gratis” (baca: lulus murni). Seolah-olah
gaji mereka yang lulus murni itu dibayar dengan uang kantong pribadi mereka, atau uang
perusahaan mereka. Padahal, gaji PNS itu dibayar dengan uang rakyat, bukan
dengan uang pribadi pejabat. Artinya, masyarakat umum berhak untuk menjadi PNS dengan
cara murni tanpa ada bayaran sepeser pun—apalagi puluhan juta rupiah—asalkan mereka benar-benar
kapabel, mampu, dan layak. Dan, memang, tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan bahwa
untuk menjadi CPNS harus membayar sejumlah uang. Namun, sudah menjadi rahasia
umum di tengah kehidupan sosial masyarakat kita hari ini bahwa
agar bisa diterima menjadi CPNS, orang harus menyogok dengan puluhan bahkan
ratusan juta rupiah. Hal itu memang terjadi, namun susah untuk dibuktikan. Ibaratnya, orang hanya dapat mencium
bau, tetapi sulit untuk mengetahui sumber bau.
Terjadinya praktik sogok-menyogok dalam pengadaan PNS
tidak hanya muncul dari prilaku pejabat pemegang otoritas, tetapi juga prilaku
masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, bukan hanya pejabat yang minta suap,
tetapi masyarakat itu sendiri juga mau menyuap. Hal ini dikarenakan pemahaman
agama dan pemahaman serta kesadaran hukum yang dangkal. Akibatnya, cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (social welfare) serta upaya untuk menciptakan
birokrasi yang baik dan bersih (good and clean
government) menjadi sulit
untuk diwujudkan. Namun, anehnya, praktek penyogokan untuk menjadi CPNS saat ini tidak begitu dianggap
perbuatan dosa. Di samping itu, hal ini juga
tidak begitu mendapat perhatian serius dari banyak
kalangan, terutama dari pemegang kekuasaan pemerintahan negeri ini, yakni
presiden. Ini, sekali lagi, dikarenakan kekaburan nilai tentang
persoalan ini. Karena, jarang sekali para ulama-ulama, ustazd, ataupun penceramah menyampaikan
persoalan ini kepada masyarakat umum.
Suap dalam Perspektif Islam
Dalam
surat Al-Baqarah ayat 188, Allah
menjelaskan bahwa haram memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.
Allah berfirman, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain
di antara kamu dengan jalan yang batil.” (Qs. Al-Baqarah/2: 188). Imam Al-Qurthubi mengatakan, “Makna ayat ini adalah
janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang
tidak benar.” Dia menambahkan, bahwa
barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan
syariat, maka
sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang batil. Dalil
dari Hadits Nabi s.a.w., diantaranya adalah seperti yang
diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu
anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima
suap.” (HR.
Abu Daud II/324 no.3580, At-Tirmidzi III/623 no.1337, Ibnu Majah, 2313 dan
Hakim, 4/102-103; dan Ahmad II/164 no.6532, II/190 no.6778. Dan dinyatakan Shohih oleh syaikh
Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib II/261
no.2211).
Hadits
ini menunjukkan bahwa suap-menyuap termasuk dosa besar, karena pelakunya
diancam Rasulullah s.a.w. dengan laknat
dari Allah. Arti “laknat” ialah terusir dan terjauhkan dari rahmat Allah.
Al-Haitami rahimahullah memasukkan suap ke dalam dosa besar yang ke-32. Di samping Al Qur’an dan hadits, para
ulama juga telah sepakat secara ijma’ akan haramnya suap-menyuap secara umum, sebagaimana disebutkan oleh
Ibnu Qudamah, Ibnul Atsir, dan Ash-Shan’ani (lihat Al-Mughni XI/437, An-Nihayah II/226, dan Subulussalam
I/216). Imam Al-Qurthubi rahimahullah di dalam kitab
Tafsirnya mengatakan bahwa para ulama telah sepakat akan keharaman dari suap-menyuap. Imam Ash-Shan’ani mengatakan, “Dan suap-menyuap
itu haram berdasarkan Ijma’, baik bagi seorang qodhi (hakim), bagi para pekerja
yang menangani shadaqah atau selainnya.”
Jadi, jelas dalam tinjauan Islam sogok-menyogok merupakan suatu yang diharamkan
oleh Allah s.w.t. Kalau sudah dikatakan haram, berarti itu adalah suatu perbuatan
dosa.
Suap dalam Tinjauan Hukum
Positif
Dalam hukum positif, suap dan gratifikasi selalu dikaitkan antara pemberian dan
janji kepada pegawai negeri. Hal ini bisa kita lihat dalam UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 jo
UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, suap didefinisikan setiap orang yang memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan
maksud pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Jadi, cakupan suap adalah (1) setiap orang, (2)
memberi sesuatu, (3) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, (4)
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Suap terhadap penyelenggara negara dalam perspektif hukum
positif dapat dikategorikan sebagai praktik korupsi. Dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 5 ayat (1), dijelaskan, “Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda
paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan
maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau
tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena
atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan
atau tidak dilakukan dalam jabatannya.” Dalam ayat (2) dijelaskan lagi, “Bagi pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).”
Kemudian dalam Pasal 12B ayat (1) dijelaskan, “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.” Selanjutnya,
dalam ayat (2) dijelaskan, “Pidana bagi
pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).”
Nah, kalau dikaitkan dengan suap agar bisa lulus
menjadi CPNS, maka tindakan itu sudah tergolong kepada suap sebagaimana
dimaksud dalam UU Tindak Pidana Korupsi.
Mengapa? Karena yang disuap itu adalah oknum pegawai negeri dengan tujuan agar pegawai negeri yang
diberi suap (sogok) itu dapat meluluskan pemberi suap untuk menjadi PNS. Tentu, dalam perspektif hukum positif, suap (sogok) untuk
menjadi PNS adalah suatu perbuatan melawan hukum karena ia tergolong kepada
tindak pidana korupsi. Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat
memberikan pencerahan bagi masyarakat. Wa ’l-Lah-u a’lam-u bi ’l-shawab.
NANI EFENDI
Pemerhati Masalah Sosial, Tinggal di Jambi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar