Pemilukada dan Fenomena Pemutasian PNS
Selasa, 30 Juli 2013
15.47 //
Oleh: NANI EFENDI
Menjelang dan pasca Pilkada di banyak daerah di Indonesia, banyak PNS yang dimutasikan tanpa kejelasan. Di antara yang dimutasikan merasa terkejut dengan keputusan mutasi yang diterima secara tiba-tiba. Sebagian kalangan menganggap hal tersebut erat kaitannya dengan suksesi kepemimpinan di daerah. Artinya, kental nuansa politisnya. Pemerintah Daerah yang sedang berkuasa dan mempunyai otoritas dianggap oleh beberapa kalangan sebagai penyebab dari pemutasian Pegawai Negeri Sipil (PNS) secara sepihak. Hal ini tidak saja terjadi pasca Pemilukada atau pergantian kepemimpinan di daerah, tetapi fenomena ini juga merupakan dampak (impact) dari kebijakan otonomi daerah yang salah kaprah.
Pemerintah daerah merasa mempunyai wewenang (authority) untuk mengangkat, memutasikan (memindahkan), memberikan sanksi administratif, bahkan memecat PNS sekalipun. Dalam menjawab keluhan beberapa kalangan, pemerintah daerah berdalih dan mempunyai alasan demi penyegaran dan efektifitas kinerja PNS di lingkungan pemerintah daerah. Padahal, sudah menjadi rahasia umum, bahwa selama praktek otonomi daerah dan juga pasca pemilukada di banyak daerah di Indonesia, mutasi PNS secara sepihak sarat dengan political interests (kepentingan politik). Hal tersebut bisa merupakan salah satu bentuk aksi balas jasa dan juga balas dendam dari kepala daerah yang terpilih terhadap kawan dan lawan politik.
Menempuh Jalur PTUN
Dalam menyikapi kebijakan mutasi PNS maupun pejabat-pejabat teras di lingkungan pemerintahan daerah (Pemprov, Pemkab, dan Pemkot), bagaimana seharusnya PNS bersikap? Sampai saat ini, sebagian ada yang nrimo (menerima dengan pasrah), sebagian ada yang menggerutu dalam hati tanpa tahu apa yang harus dilakukan, dan sebagian ada yang tidak puas dan men-challenge-nya (menggugat) melalui jalur hukum. Namun, tidak banyak PNS yang tahu dan mengerti hukum. Di antara PNS, tidak banyak yang memahami bagaimana cara mengajukan gugatan secara hukum terhadap kebijakan mutasi sepihak yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh pemerintah daerah.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 53 ayat (1) dijelaskan, “Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.”
Kemudian, dalam Pasal 53 ayat (2) dijelaskan lagi, “Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.” Nah, mutasi PNS adalah salah satu bentuk produk atau Keputusan Tata Usaha Negara. Dengan demikian, jika PNS merasa terzalimi dengan pemutasian yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bertentangan pula dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (good corporate governance), maka PNS dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah. Artinya, jika terjadi gugatan terhadap kepala daerah dalam hal pemutasian PNS secara sewenang-wenang, yang digugat itu bukanlah kepala daerah secara pribadi, tetapi produk tata usahanya.
Kemana jalur gugatannya? PNS bisa menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagaimana yang diatur dalam UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara seperti yang saya paparkan di atas. Pengadilan Tata Usaha Negara disebut juga Pengadilan Administrasi Negara (administrative court). Di PTUN, akan dikaji apakah kebijakan pemutasian itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Yang jelas, kepala daerah (bupati, walikota, dan gubernur) bukanlah raja yang bisa berbuat semaunya. Ini harus dipahami dengan baik oleh PNS. Mengapa? Karena, Negara kita adalah Negara hukum. Yang disebut Negara hukum ialah tidak ada satu pun kebijakan pemerintah dan alat-alat kelengkapan negara yang dijalankan tanpa dilandaskan atas hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada. Jadi, dalam Negara hukum, setiap kebijakan pemerintah tidak bisa berlandaskan atas kekuasaan belaka.
Koreksi Kebijakan
Sampai saat ini, belum banyak PNS di lingkungan pemerintah daerah yang mau dan berani menggugat ke PTUN terhadap kebijakan mutasi yang dirasa tidak “pas” dan tidak adil. Namun demikian, dalam hubungannya dengan Pilkada, para “korban mutasi” dan juga keluarganya bisa saja menyikapinya dalam bentuk lain. Masyarakat akan melakukan balasan dalam bentuk “gugatan sosial”, yakni dengan cara tidak memilih lagi kepala daerah yang melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap PNS-nya. Oleh karena itu, pemerintah daerah yang salah kaprah dengan kewenangan yang diberikan oleh otonomi daerah harus mengkoreksi kebijakan pemutasian PNS secara sepihak dan sewenang-wenang, demi efektifitas kinerja PNS di lingkungan Pemerintahan daerah itu sendiri.
Jika budaya “balas dendam” dalam bentuk “pemutasian secara ngawur dan membabi buta” tidak dihilangkan di lingkungan pemerintah daerah, maka akan memberikan dampak (impact) yang buruk dalam kontinuitas penerapan dan pengelolaan otonomi di daerah-daerah. Semestinya, otonomi daerah (regional autonomy) dapat menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, favorable, efektif, dan efisien bagi PNS dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat secara luas. Tetapi, jika para PNS “dibuang” (baca: mutasi) ke tempat yang “tidak pas”, maka mereka akan merasa tidak nyaman dalam bekerja. Kalau PNS sudah merasa tidak nyaman bekerja di lingkungan kerjanya, maka hasil kinerjanya pun akan menjadi tidak optimal. Hal ini tentu sangat kontraproduktif (counterproductive) atau bertentangan dengan cita-cita otonomi daerah itu sendiri.
NANI EFENDI
Pemerhati Masalah Sosial, Tinggal di Jambi
0 komentar