Uniknya Gelar Sarjana di Indonesia
Sabtu, 03 Agustus 2013
13.26 //
Oleh: NANI EFENDI
Dalam sebuah dialog di TVRI beberapa waktu lalu, Dr Dirhamsyah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan bahwa banyak sarjana di Indonesia belum siap pakai. Tidak hanya itu, dalam sebuah artikel di Harian Kompas tanggal 4 Januari 1999 berjudul
“Reformasi Pengajaran?” yang ditulis oleh J Drost, terdapat penjelasan yang
menarik. Dijelaskan bahwa sarjana di Indonesia—tentu bukan semuanya—belum bisa
disebut profesional. Ia menjelaskan sarjana di Indonesia baru setingkat sarjana
muda (B.A.) di Inggris dan Amerika. Mengapa demikian? Karena, sampai
tahun1970-an, universitas-universitas di Indonesia memakai pola dan sistem
Eropa, yakni Belanda. Tetapi, kemudian diubah dengan cara sistem Amerika
dicangkokkan dengan pola Eropa.
Di
Amerika, sebelum masuk ke universitas, mahasiswa harus terlebih dahulu masuk ke
college yang berlangsung 3-4 tahun.
Dalam college belum ada fakultas dan
jurusan. Lulusan college mendapat
gelar B.A. atau B.Sc., namun belum profesional. Artinya, masih bersifat umum.
Nah, untuk menjadi profesional, mereka harus mencapai gelar master dan kemudian
doktor di universitas atau graduate school.
Di
Indonesia, sistem Amerika itu dikawinkan dengan pola Eropa, yakni sejak masuk
perguruan tinggi sudah harus memilih fakultas. Sedangkan waktu kuliahnya hanya
empat tahun. Nah, kuliah yang cuma empat tahun ini sudah diberi gelar sarjana.
Gelar sarjana itu bukanlah gelar yang masih bersifat umum seperti B.A. dan B.Sc.
di Amerika sebagaimana yang dijelaskan di atas, tetapi gelar yang sudah
terspesialisasi atau spesifik, seperti Sarjana Ekonomi, Sarjana Hukum, Sarjana
Pendidikan, Sarjana Peternakan dan lain sebagainya. Gelar-gelar sarjana ini—di
Indonesia—sudah dianggap profesional. Padahal, kalau di Amerika, gelar sarjana
yang mereka istilahkan dengan B.A. dan B.Sc. belumlah profesional. Ia tidak
ubahnya seperti diploma tiga di Indonesia. Jadi, wajar saja lulusan luar negeri
lebih dihargai dan lebih gampang mendapatkan pekerjaan.
Kalau
di Eropa, tidak ada titel S1 atau gelar sarjana sebagaimana yang kita kenal di
Indonesia. Yang ada ialah titel M.A., M.Sc., diplom, dokterandus, insinyur,
namun waktu kuliahnya minimal enam tahun. Sementara gelar S1 di Indonesia diperoleh
dalam waktu empat tahun. Jadi, sebenarnya, kata J Drost, sarjana kita itu
sebetulnya adalah B.A. ekonomi, B.A. teknik, B.A. pendidikan, dan sebagainya. Dengan
kata lain, sarjana kita setara dengan “diploma III” di Amerika dan Eropa. Nah,
bagaimana supaya lulusan kita setara dengan lulusan luar negeri? Ya, mereka
harus mengambil gelar magister. Tetapi, bukan “M.M.”. Mengapa? Karena, Magister
Manajemen bukanlah gelar akademis, melainkan gelar profesional seperti halnya dokter,
apoteker, psikolog, akuntan, dan sebagainya. Jadi, M.M. bukan strata 2.
Oleh
karenanya, sulit menyebut seorang sarjana (B.A.) sebagai seorang profesional.
Di luar negeri, baik Ir. atau diploma-Ir., Master of Engeneering maupun M.A.
dan M.Sc. dibentuk di tingkat magister. Oleh karena itu, agar setara dengan lulusan
di Amerika dan Eropa, maka Indonesia harus merubah sistem di perguruan tinggi.
Kita jangan lagi pakai pola Amerika yang dicampuradukkan dengan pola Eropa.
Kita harus memakai pola dari salah satunya, yakni pola Amerika secara murni
atau pola Eropa secara murni juga. Artinya, tidak boleh lagi dicampurkan. Titel
akademik di Amerika ialah: College-Universitas:
B.A.-M.A.-Ph.D. Sedangkan pola Eropa adalah: Universitas: M.A.-Dr.
Budaya Membanggakan Gelar
Di
samping itu, terlepas dari penjelasan di atas, yang perlu dipahami oleh
masyarakat adalah, gelar bukanlah ukuran kemampuan seseorang. Jadi, kalau saya
perhatikan, ada sebuah budaya yang salah di masyarakat kita saat ini, yaitu
terlalu menghargai dan membanggakan gelar akademis yang mereka punyai ketimbang
kemampuan? Apakah terlalu menghargai gelar akademis ketimbang kemampuan itu
salah? Hal itu sebenarnya tidaklah salah. Akan tetapi, semestinya kita harus
lebih menghargai kemampuan atau ilmu seseorang daripada titel akademik
semata-mata. Terlalu menghargai dan menyanjung gelar akademik yang dilekatkan
pada nama seseorang, menurut saya, adalah sebuah budaya feodal yang harus kita
singkirkan jauh-jauh. Mengapa? Karena, gelar itu bukanlah ukuran mutlak
kemampuan seseorang.
Apalagi
kalau kita melihat kondisi pendidikan di Indonesai saat ini, di mana gelar bisa
didapatkan dengan mudah. Bahkan, tanpa kuliah pun seseorang bisa mendapat gelar
dengan cara “membeli”. Yang memang kuliah di perguruan tinggi pun terkadang
memperoleh gelar dengan cara-cara yang tidak terpuji, seperti menjiplak
skripsi, membeli skripsi, dan bahkan menyuruh orang lain untuk mengerjakan
skripsinya dengan cara membayar sejumlah uang. Jadi, untuk apa kita harus
terlalu membanggakan gelar? Banggakanlah kemampuan dan ilmu yang Anda miliki,
bukan embel-embel di depan atau di belakang nama Anda. Karena, embel-embel itu
tidaklah dapat memastikan bahwa Anda itu hebat atau luar biasa.
NANI EFENDI
Pemerhati
Masalah Sosial, Tinggal di Jambi
0 komentar