Kembali ke UUD 45, Antidemokrasi
Selasa, 13 Agustus 2013
17.40 //
Oleh: ADNAN BUYUNG NASUTION
Sikap yang menuntut kembali ke UUD 1945 yang "asli" atau yang "murni dan konsekuen" yang biasa saya sebut sebagai "paham integralistik versi Prof Soepomo", bagi saya ibarat memutar jarum jam sejarah ke belakang, ke zaman Demokrasi Terpimpin (Orde Lama) atau Demokrasi Pancasila (Orde Baru) yang antidemokrasi.
Banyak
hasil penelitian ilmiah menunjukkan, UUD 1945 memiliki kelemahan atau cacat
konseptual bagi pegangan berbangsa dan bernegara. Selain hasil penelitian yang
saya tuangkan dalam disertasi saya di Universitas Utrecht, Belanda, juga dapat
dilihat dari disertasi para ilmuwan FH UI, yaitu Dr Benny K Harman, Dr
Margarito Kamis, Dr Aidul Fitri, dan yang dalam proses penulisan oleh Sdr Aulia
Rahman SH.
Kelemahan konseptual
Adanya pro
dan kontra amandemen UUD 1945 dilihat dari perspektif konstitusionalisme adalah
karena belum jelasnya konsep kenegaraan (staatsidee) yang kita anut, apakah
paham kenegaraan integralistik atau demokrasi konstitusional. Saya berbeda
pendapat dengan kelompok yang menolak amandemen UUD 1945 yang menggunakan
alasan: Pertama, telah menghilangkan peran MPR sebagai penjelmaan seluruh
rakyat Indonesia; Kedua, mengubah sistem MPR menjadi bikameral, yang terdiri
dari DPR dan DPD yang dipilih lewat pemilihan langsung sehingga dianggap
mengarah pada federalisme dan menghilangkan eksistensi utusan golongan dan
utusan daerah; Ketiga, hilangnya eksistensi MPR dianggap sebagai upaya mengubah
sila keempat Pancasila: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’’.
Menurut
saya, kelemahan mendasar paham integralistik versi Prof Soepomo justru pada
eksistensi institusi MPR ini yang dikatakan merupakan penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia dan karena itu memegang dan menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat
sehingga memiliki kekuasaan tertinggi. Ketika MPR terbentuk, rakyat tak lagi
memiliki kedaulatan sebab telah habis diserahkan kepada MPR dalam bentuk
pemberian suara pada pemilu. Dengan dipilihnya Presiden oleh MPR, kedaulatan
rakyat habis dipegang dan dijalankan oleh Presiden. Konsekuensinya Presiden
memiliki kewenangan yang luas dan tak terbatas.
Selain
kelemahan konseptual itu, UUD 1945 juga memiliki kelemahan mendasar lain, yaitu
dalam konstruksi hukumnya tidak mengindahkan pembatasan kekuasaan dengan
pembagian ketiga cabang kekuasaan berdasarkan teori Mentesqieu (eksekutif,
legislatif, dan yudikatif) dan juga tidak cukup memberikan jaminan perlindungan
hak asasi manusia.
Kondisi
ini melahirkan kekuasaan absolut di tangan Presiden, tanpa ada checks and
balances dari cabang kekuasaan lainnya, sehingga menimbulkan banyak peluang
bagi terjadinya abuse of power dan penindasan hak asasi manusia.
Sejarah ketatanegaraan
Sebenarnya,
saat founding fathers menerima diberlakukannya UUD 1945 yang dicetuskan Prof
Soepomo pada sidang PPKI 18 Agustus 1945 telah menyadari, UUD 1945 hanya
bersifat sementara atau istilah Bung Karno "undang-undang dasar
kilat". Mereka semua committed jika kelak keadaan mengizinkan, bangsa
Indonesia akan melaksanakan pemilu untuk membuat UUD baru yang definit berasas
kedaulatan rakyat.
Sejarah
ketatanegaraan kita yang menggunakan konstitusi UUD 1945 sebagai landasan
struktural telah menghasilkan berbagai sistem pemerintahan yang berbeda-beda,
bahkan pernah bertolak belakang secara konseptual.
Dalam
periode revolusi, hanya di masa kabinet Soekarno-Hatta yang pertama (Agustus
1945-sampai keluar Maklumat X tanggal 16 Oktober 1945), berarti hanya dua bulan
kita menerapkan UUD 1945 yang "asli" yang kekuasaan sepenuhnya di
tangan Presiden. Maklumat Wakil Presiden No X mengubah secara mendasar sistem
ketatanegaraan dari Presidensial ke Parlementer, meski tetap menggunakan UUD
1945 sebagai konstitusi.
Pada 1949
bangsa Indonesia telah mengganti UUD 1945 dengan Konstitusi RIS dan tahun 1950
lagi-lagi diganti dengan UUD Sementara 1950, tetapi tetap menganut paham
demokrasi konstitusional meski dengan sistem berlainan. Baru tahun 1955 pertama
kali diselenggarakan pemilu dan dibentuk Majelis Konstituante untuk membuat UUD
baru yang definitif.
Sebelum
tugasnya selesai, Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno 5
Juli 1959. Bukan disebabkan Konstituante tak berhasil atau mengalami deadlock
dalam menyusun UUD baru sebagaimana diajarkan dalam semua buku pelajaran
sejarah versi pemerintah, tetapi karena ada kepentingan politik dari kalangan militer
dan pendukung Soekarno.
Dengan
diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui Dekrit 5 Juli 1959, timbul kembali
pemerintahan otoriter di bawah panji Demokrasi Terpimpin Soekarno dilanjutkan
rezim otoriter Orde Baru Soeharto dengan panji Demokrasi Pancasila.
Dalam masa
pemerintahan transisi, baik di zaman Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati
sebelum Pemilu 2004, kita menyaksikan betapa lemahnya UUD 1945 mengatur
penyelenggaraan kekuasaan negara karena sifatnya yang multi-interpretasi.
Pemegang kekuasaan negara bisa melakukan berbagai distorsi dan devisiasi
nilai-nilai demokrasi dan sistem pemerintahan.
Saya
khawatir, jangan-jangan dewasa ini kita menghadapi bahaya pengulangan sejarah,
adanya sisa-sisa kalangan militer dan pendukung Soekarno yang menghendaki
kembalinya "Demokrasi Terpimpin". Dulu mereka berhasil menjegal
Majelis Konstituante dengan memakai "pedang" Dekrit 5 Juli 1959. Atau
pendukung Soeharto yang menghendaki kembalinya "Demokrasi Pancasila"
yang dengan landasan UUD 1945 yang "murni dan konsekuen" berhasil
berkuasa selama 32 tahun.
Tuntutan
untuk kembali ke UUD 1945 jelas diwarnai nostalgia atau sindrom pada kekuasaan
otoriter dan totaliter yang pernah dinikmati di masa lampau dan merasa
"kehilangan" atau tak bisa eksis lagi untuk membangun kekuatan
politik dalam konteks UUD 1945 hasil amandemen.
Mengandung kelemahan
Menurut
hemat saya, UUD 1945 hasil amandemen telah memberikan tatanan kenegaraan yang
lebih baik meski ada beberapa kelemahan. Kemajuan yang telah dicapai telah
memberi perlindungan terhadap hak asasi manusia, memberikan batasan terhadap
kekuasaan negara, pemilihan presiden langsung oleh rakyat, pembentukan Mahkamah
Agung yang mandiri terlepas dari Departemen Kehakiman, pembentukan Mahkamah
Konstitusi, Komisi Yudisial, dan lain-lain.
Beberapa
kelemahan yang perlu diperbaiki, yaitu:
Pertama,
terkait dengan masalah konseptual. MPR tidak memiliki konsep atau desain
ketatanegaraan yang jelas tentang arah dan tujuan yang hendak dicapai melalui
serangkaian amandemen itu.
Kedua, menyangkut
masalah teknik yuridis, yakni lemahnya kemampuan legal drafting dalam
merumuskan dan menyusun pasal-pasal, yang tampak dari segi sistematika yang
rancu maupun bahasa hukum yang dipergunakan. Akibatnya, banyak pasal hasil
amandemen yang tumpang tindih, kontradiktif, dan memungkinkan multitafsir.
Namun, adanya kelemahan tersebut tidak berarti kita harus kembali kepada UUD
1945.
Saya
merasa perlu untuk kembali menyuarakan dibentuknya Komisi Konstitusi guna
merancang draf komprehensif amandemen UUD 1945 yang baru atau sama sekali
merancang UUD baru dengan struktur dan sistematika yang lebih baik yang tegas
dan jelas mengacu kepada konsep negara.
Demokrasi
Konstitusional, seperti diintroduksi Hatta dan Yamin, yaitu yang meletakkan
rakyat sebagai pemegang kedaulatan, menegakkan supremasi hukum, pembagian
kekuasaan yang jelas antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif (trias
politika), pertanggungjawaban pemerintahan pada rakyat (public accountability),
dan dihormatinya hak asasi manusia.
Konsep ini
menunjuk pada ciri-ciri yang bisa ditetapkan secara eksplisit atau bisa
dianggap bagian inti (inheren) dari nilai konstitusional sebagai cita-cita yang
selalu merupakan variable achievement.
Demokratisasi
di Indonesia harus berlangsung pada dua dataran sekaligus, yaitu dataran
konseptual dan dataran praktis agar tidak tambal sulam.
ADNAN BUYUNG NASUTION
Advokat Senior/ Ketua Dewan Pembina YLBHI
Sumber: Kompas
0 komentar