Memahami Hakikat Kepemimpinan
Selasa, 13 Agustus 2013
13.55 //
Kerincisungaipenuh.com, Kerinci— Tidak ada negara yang miskin. Yang ada hanyalah negara yang salah urus (mismanagement) atau salah pimpin. Artinya, maju mundurnya sebuah organisasi—mulai dari organisasi yang terkecil sampai organisasi yang paling besar, yakni negara—sangat tergantung dari faktor kepemimpinan(leadership). Dengan kata lain, jika terjadi kehancuran, kemunduran, atau kekacauan sebuah komunitas masyarakat atau sebuah organisasi, maka sumber penyebabnya dapat ditelusuri pada faktor kepemimpinan. Dalam kehidupan, manusia selalu membutuhkan keberadaan seorang pemimpin. Dalam komunitas yang paling sederhana sekalipun, manusia tetap membutuhkan pemimpin. Dalam kehidupan rumahtangga, diperlukan pemimpin yang dinamakan kepala keluarga. Pada tingkat negara dibutuhkan pemimpin, dengan berbagai sebutan seperti presiden, raja, kaisar, ratu, sultan, dan lain sebagainya. Semua itu menunjukkan pentingnya keberadaan seorang pemimpin dalam kehidupan. Pemimpin sangat menentukan baik-buruk dan maju-mundurnya sebuah organisasi. Oleh karena itu, siapa pun yang menjadi pemimpin tidak sepantasnya ia menyalahgunakan kepemimpinannya untuk hal-hal yang tidak benar.
Salah satu
bukti istimewanya kedudukan pemimpin, dalam sebuah hadits Rasulullah mengatakan
bahwa, salah satu doa yang mustajab atau mudah dikabulkan adalah doa pemimpin
yang adil. Di samping itu, Islam juga menganggap bahwa setiap manusia itu adalah pemimpin dan
setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya di hari kiamat terhadap apa
yang ia pimpin. Rasulullah bersabda, “Kullukum
ra’in, wakullukum mas’ulun ‘an ra’iyatih. (Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggungjawabannya di hari kiamat terhadap apa yang ia pimpin).” Jadi,
begitu pentingnya kedudukan seorang pemimpin. Nah, jika kita
kontekstualisasikan pada kehidupan hari ini, nyata sekali bahwa faktor pemimpin
dan kepemimpinan itu merupakan suatu hal yang sangat menentukan terhadap
maju-mundurnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bahkan,
sampai pada kehidupan manusia secara global. Bobroknya kehidupan berbangsa dan
bernegara, salah satu penyebabnya adalah leadership
crises (krisis kepemimpinan), baik kepemimpinan nasional maupun pada skala lokal.Namun,
banyak orang yang tidak menyadari dan memahami hal ini.
Hari ini, menjadi pemimpin
sering dianggap sebagai jalan pintas mencari keuntungan pribadi, seperti
kekayaan, popularitas, otoritas, wewenang, fasilitas, privilese, dan
kenikmatan-kenikmatan duniawi lainnya. Salah satu contohnya adalah pada
momentum pemilu legislatif, pemilukada, pilpres, dan lain sebagainya. Banyak
yang mengejar jabatan-jabatan pada momentum itu dengan orientasi yang keliru.
Tidak sedikit yang berbondong-bondong untuk menjadi anggota legislatif, bupati,
wali kota, gubernur, presiden dan jabatan-jabatan formal lainnya hanya karena keinginan menjadi seorang pemimpin dan
memerankan fungsi kepemimpinan. Padahal, keberadaan pemimpin itu tidak mesti
selalu dalam komunitas formal, tetapi keberadaan pemimpin itu ada dalam setiap sektor
kehidupan manusia, sejak manusia ada di muka bumi ini sampai dengan saat
sekarang.Nah, untuk membahasnya lebih dalam tentang hakikat pemimpin dan kepemimpinan, Kerincisungaipenuh.com mencoba mendiskusikannya dengan dosen Kepemimpinan STIA Nusa Sungaipenuh,
Bukhari Muallim. Berikut petikan wawancara Kerincisungaipenuh.com dengan Bukhari Muallim di kediamannya, Sabtu, (10/8/2013).
Apa kepemimpinan
itu menurut Anda?
Jadi, begini, sampai hari ini, ada dua pandangan
tentang kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan
dipandang sebagai seni (art). Kedua, sebagai ilmu (science). Namun, yang jelas,
kepemimpinan atau leadership itu
adalah aktivitas mempengaruhi orang lain untuk mencapai suatu tujuan.Nah, dalam
proses mempengaruhi orang lain itu dibutuhkan seni atau art. Kepemimpinan itu pada hakikatnya adalah pengaruh, tidak lebih
tidak kurang. Dengan kata lain, jika Anda tidak punya pengaruh, Anda tidak bisa
memimpin orang lain. Jika Anda tidak bisa memimpin orang lain, berarti Anda
bukan pemimpin.
Se-simple itukah?
Iya.
Kalau seperti itu
pengertian kepemimpinan menurut Anda, berarti pemimpin itu tidak mesti selalu
berada di sektor formal?
Yes, exactly! Tepat sekali. Pemimpin itu tidak mesti selalu ada di sektor formal sebagaimana
halnya pejabat publik atau pejabat negara seperti camat, bupati, walikota, gubernur,
presiden, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, meminjam istilah Rektor Universitas
Paramadina, Doktor Anies Baswedan, saat ini kebanyakan orang tidak butuh
pejabat, tetapi mereka butuh pemimpin. Pemimpin yang dimaksudkan adalah orang
yang mampu meng-influence (mempengaruhi
–Red.) dan membimbing rakyat—tanpa
rakyat itu merasa terpaksa—dalam rangka mencapai tujuan berbangsa dan
bernegara, yakni kesejahteraan rakyat (socialwelfare).
Di situ dibutuhkan keteladanan. Pemimpin yang mau diikuti oleh rakyat adalah
pemimpin yang bisa diteladani.
Apakah saat ini pejabat
tidak bisa melakukan hal itu?
Ya, Anda lihat
sendiri. Kenyataannya hari ini kan banyak pejabat yang tidak mampu mempengaruhi
orang lain. Berarti, menjadi pejabat itu belum tentu otomatis menjadi pemimpin.Dengan
kata lain, pemimpin dan pejabat itu berbeda. Oleh karenanya, dalam teori
kepemimpinan ada perbedaan antara istilah “leader”
dan “manager”. Namun, orang sering
menyamakan antara pejabat dengan pemimpin. Padahal, keduanya berbeda.
Berarti, yang
lebih dihormati orang itu adalah pemimpin, bukan pejabat?
Ya, betul. Nah,
hari ini wajar saja banyak orang yang tidak menaruh hormat lagi pada pejabat
yang tidak punya kualitas pribadi sebagaipemimpin, karena sudah banyak pejabat
yang orientasinya cuma uang dan kepentingan pribadi, seperti menyalahgunakan
wewenang yang mereka miliki (abuse of
power), korupsi, manipulasi, dan prilaku-prilaku bejat lainnya. Pejabat hari
ini sudah banyak yang korup. Ha..ha..ha...(tertawa lepas)
Ok. Bagaimana Anda
melihat fungsi partai saat ini, tidakkah ia berfungsi sebagai wadah kaderisasi
calon pemimpin?
Ya, semestinyakan seperti
itu. Fungsi partai politik itu salah satunya adalah sebagai wadah kaderisasi
calon pemimpin atau sebagai kawah candradimuka. Namun, saat ini saya tidak
melihatnya demikian. Kita lihat saja pada level nasional. Sampai saat ini,
tidak ada partai yang melahirkan tokoh, tetapi tokohlah yang banyak melahirkan
partai.
Berarti, menurut
Anda, menjadi pemimpin itu tidak gampang?
Ya, tidak gampang.
Seperti kita lihat contoh hari ini. Orang-orang yang sudah berhasil menjadi
pejabat publik, seperti menjadi anggota legislatif, bupati, walikota, gubernur,
dan pejabat-pejabat formal lainnya, ternyata mereka tidak mudah mempengaruhi
orang-orang untuk mengikuti apa yang mereka inginkan dan perintahkan. Mengapa
demikian? Karena mereka pada awalnya tidak punya pengaruh. Namun, karena
trik-trik politik yang mereka miliki, mereka berhasil meraih
kedudukan-kedudukan formal. Atau mungkin juga diuntungkan oleh patahan-patahan
sejarah. Dengan kata lain, mereka berhasil menjadi anggota legislatif,
katakanlah seperti itu, bukan karena pengaruh yang mereka miliki, tetapi karena
kekuatan finansial dan berbagai trik politik. Coba kita lihat hari ini.
Orang-orang yang tidak punya uang, untuk bisa duduk di kursi legislatif maupun
menjadi pejabat-pejabat publik lainnya, susahnya minta ampun.
Ok. Sekarang
saya mau bertanya tentang tipe-tipe kepemimpinan. Bisa Anda jelaskan?
Ya, tipe-tipe kepemimpinan itu ada banyak sekali.
Kita bisa baca di dalam literatur-literatur ilmiah tentang teori kepemimpinan. Memang,
terdapat sedikit perbedaan antara satu sama lain dari para ahli. Tetapi, pada
dasarnya terdapat persamaan, baik dari segi istilah atau terminologi maupun dari
segi substansi tentang kepemimpinan.
Ada berapa tipe-tipe kepemimpinan itu?
Ada banyak sekali.
Contohnya?
Ya, seperti tipe kharismatis, paternalistis,
otoriter atau otokratis (outhoritative),
militeristik, laissez faire, administratif,
dan tipe demokratis.
Bisa Anda jelaskan satu persatu?
Ha..ha..ha..., ini
sebenarnya terlalu panjang untuk dijelaskan. Tapi tidak apa-apa, karena Anda sudah
bertanya. Ya, pertama,
tipe kepemimpinan kharismatis. Tipe kepemimpinan karismatis memiliki kekuatan energi, daya tarik dan
pembawaan yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai
pengikut yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang bisa dipercaya.
Kepemimpinan kharismatik dianggap memiliki kekuatan ghaib (supernatural power) dan kemampuan-kemampuan yang superhuman, yang diperolehnya sebagai anugerah
Tuhan. Kepemimpinan yang kharismatik memiliki inspirasi, keberanian, dan
berkeyakinan teguh pada pendirian sendiri. Totalitas kepemimpinan kharismatik
memancarkan pengaruh dan daya tarik yang amat besar.Bung Karno dan Gus Dur
adalah beberapa contoh pemimpin kharismatik.
Kedua, tipe
kepemimpinan paternalistis.Kepemimpinan paternalistik lebih diidentikkan
dengan kepemimpinan yang kebapakan dengan sifat-sifat sebagai berikut: mereka
menganggap bawahannya sebagai manusia yang belum dewasa, atau anak sendiri yang
perlu dikembangkan. Mereka bersikap terlalu melindungi.Mereka jarang memberikan
kesempatan kepada bawahan untuk mengambil keputusan sendiri.Mereka hampir tidak
pernah memberikan kesempatan kepada bawahan untuk berinisiatif.Mereka hampir
tidak pernah memberikan kesempatan pada pengikut atau bawahan untuk
mengembangkan imajinasi dan daya kreativitas mereka sendiri. Dan, mereka selalu
bersikap maha tahu dan maha benar.
Ketiga, tipe
kepemimpinan militeristik.Tipe kepemimpinan militeristik ini sangat
mirip dengan tipe kepemimpinan otoriter. Ciri-ciri tipe kepemimpinan
militeristik adalah: lebih banyak menggunakan sistem perintah atau komando,
keras dan sangat otoriter, kaku dan seringkali kurang bijaksana, menghendaki
kepatuhan mutlak dari bawahan, sangat menyenangi formalitas, upacara-upacara
ritual dan tanda-tanda kebesaran yang berlebihan, menuntut adanya disiplin yang
keras dan kaku dari bawahannya, tidak menghendaki saran, usul, sugesti, dan
kritikan-kritikan dari bawahannya, dan komunikasi hanya berlangsung satu arah.
Keempat, tipe
kepemimpinan otokratis (outhoritative).Kepemimpinan otokratis memiliki
ciri-ciri antara lain: mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan mutlak yang
harus dipatuhi. Pemimpinnya selalu berperan sebagai pemain tunggal, berambisi
untuk merajai situasi. Setiap perintah dan kebijakan selalu ditetapkan sendiri.
Bawahan tidak pernah diberi informasi yang mendetail tentang rencana dan tindakan
yang akan dilakukan. Semua pujian dan kritik terhadap segenap anak buah
diberikan atas pertimbangan pribadi.Adanya sikap eksklusivisme.Selalu ingin
berkuasa secara absolut. Sikap dan prinsipnya sangat konservatif, kuno, ketat
dan kaku, dan pemimpin tipe ini akan bersikap baik pada bawahan apabila mereka
patuh.
Kelima, tipe
kepemimpinan laissez faire.Pada tipe kepemimpinan ini
praktis pemimpin tidak memimpin. Ia membiarkan kelompoknya dan setiap orang
berbuat semaunya sendiri. Pemimpin tidak berpartisipasi sedikit pun dalam
kegiatan kelompoknya. Semua pekerjaan dan tanggung jawab harus dilakukan oleh
bawahannya sendiri. Pemimpin hanya berfungsi sebagai simbol, tidak memiliki
keterampilan teknis, tidak mempunyai wibawa, tidak bisa mengontrol anak buah,
tidak mampu melaksanakan koordinasi kerja, dan tidak mampu menciptakan suasana
kerja yang kooperatif. Kedudukannya sebagai pemimpin biasanya diperoleh dengan
cara penyogokan, suapan atau karena sistem nepotisme. Oleh karena itu,
organisasi yang dipimpinnya biasanya morat-marit dan kacau balau.
Keenam, tipe kepemimpinan administratif.Kepemimpinan tipe
administratif ialah kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan tugas-tugas
administrasi secara efektif. Pemimpinnya biasanya terdiri dari
teknokrat-teknokrat dan administratur-administratur yang mampu menggerakkan
dinamika modernisasi dan pembangunan. Oleh karena itu, dapat tercipta sistem
administrasi dan birokrasi yang efisien dalam pemerintahan. Pada tipe
kepemimpinan ini diharapkan adanya perkembangan teknis, yaitu teknologi,
indutri, manajemen modern, dan
perkembangan sosial ditengah masyarakat.
Ketujuh, tipe
kepemimpinan demokratis.Kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia dan memberikan bimbingan
yang efisien kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua
bawahan, dengan penekanan pada rasa tanggung jawab internal pada diri sendiri
dan kerjasama yang baik. Kekuatan kepemimpinan demokratis tidak terletak pada
pemimpinnya, tetapi terletak pada partisipasi aktif dari setiap warga
kelompok.Kepemimpinan demokratis menghargai potensi setiap individu. Kepemimpinan
demokratis mau mendengarkan nasehat dan sugesti bawahan. Bersedia mengakui
keahlian para spesialis dalam bidangnya masing-masing. Mampu memanfaatkan
kapasitas setiap anggota seefektif mungkin pada saat-saat dan kondisi yang
tepat. Jadi, itu adalah beberapa tipe-tipe kepemimpinan.
Dari tipe-tipe kepemimpinan itu, menurut Anda, mana yang lebih baik dan lebih
efektif untuk diterapkan?
Ya, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri.
Maksud Anda?
Begini, pada dasarnya tipe kepemimpinan itu bukanlah suatu hal
yang mutlak untuk diterapkan.Karena, pada dasarnya, semua jenis gaya
kepemimpinan itu memiliki keunggulan masing-masing. Pada situasi atau keadaan
tertentu dibutuhkan gaya kepemimpinan yang otoriter, walaupun pada umumnya gaya
kepemimpinan yang demokratis lebih bermanfaat. Oleh karena itu, dalam
aplikasinya, tinggal bagaimana kita menyesuaikan gaya kepemimpinan yang akan
diterapkan pada situasi tertentu. Dalam kondisi perang,misalnya, seorang
jenderal tidak mesti harus berunding dulu dengan bawahannya ketika serangan
musuh datang secara mendadak. Nah, dalam kondisi yang demikian, dituntut
kecakapan jenderal itu mengambil tindakan yang efektif secepatnya. Itu salah
satu contoh. Oleh karenanya, dewasa ini ada istilah “gaya kepemimpinan situasional”.
Apa itu gaya kepemimpinan situasional?
Gaya kepemimpinan situasional itu ialah gaya kepemimpinan
yang berdasarkan atas hubungan yang dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu tingkat
bimbingan dan arahan yang diberikan pemimpin, tingkat dukungan sosioemosional
yang disajikan pemimpin, dan tingkat kesiapan yang diperlihatkan bawahan dalam
pelaksanaan tugas, fungsi dan tujuan tertentu.
Bagaimana cara mengimplementasikannya dalam kondisi riil?
Untuk mengimplementasikan gaya kepemimpinan situasional, seorang pemimpin harus
mengetahui bagaimana cara mempertemukan antara gaya kepemimpinan dengan
kematangan pengikut. Pada saat seorang pemimpin berusaha mempengaruhi orang
lain, maka tugas-tugas yang harus diketahui terdiri dari dua bagian penting,
diantaranya adalah mendiagnosa tingkat kesiapan bawahan dalam tugas-tugas
tertentu, dan dapat menunjukkan gaya kepemimpinan yang tepat untuk setiap
situasi. Dalam kepemimpinan situasional, kematangan merupakan suatu hal yang
kerap dipandang sebagai kemampuan dan kemauan orang-orang atau kelompok untuk
memikul tanggung jawab dalam hal mengarahkan prilaku mereka sendiri dalam
situasi tertentu. Dalam kepemimpinan situasional, kematangan merupakan konsep
yang berkaitan dengan tugas tertentu dan bergantung kepada hal yang ingin
dicapai oleh seorang pemimpin.
Apa maksud tingkat kematangan bawahan, bisa Anda jelaskan?
Menurut Paul Hersey dan Ken. Blanchard, seorang pemimpin itu harus memahami
kematangan bawahannya sehingga dia tidak salah dalam menerapkan gaya
kepemimpinan.Tingkat kematangan yang dimaksud itu adalah:pertama, ada orang yang tidak mampu dan tidak ingin. Kedua, ada orang yang tidak mampu tetapi
mau. Ketiga, ada orang yang mampu
tetapi tidak mau. Keempat, ada orang
yang mampu dan mau. Nah, tingkat-tingkat
kematangan bawahan yang seperti inilah yang harus dipahami dengan baik
oleh seorang pemimpin dalam membimbing bawahannya.
Ok. Menurut Anda, pemimpin itu terlahir
atau tercipta?
Ya, semua manusia dilahirkan kecuali Nabi Adam, ha...ha...ha... (tertawa
lepas). Begini, tidak
banyak orang yang lahir sebagai pemimpin. Pemimpin (leader) lebih banyak ada dan handal karena dilatihkan. Artinya,
untuk menjadi pemimpin yang baik haruslah mengalami trial and error dalam menerapkan gaya kepemimpinan.Semua kita bisa
menjadi pemimpin.
Tapi, untuk menjadi pemimpin itukan harus ada pengikut,
bagaimana menurut Anda?
Betul. Pemimpin
tidak akan pernah ada tanpa bawahan dan bawahan juga tidak akan ada tanpa
pemimpin. There is
no leader without at least one follower. Dalam ungkapan lain, there is no leadership without followership.Tidak
ada kepemimpinan tanpa pengikut. Kedua komponen ini merupakan sinergi dalam sebuah organisasi dalam
rangka mencapai tujuan.
Bagaimana Anda melihat persoalan kepemimpinan dewasa ini?
Ada sebuah
ungkapan, “Anda bisa mencintai orang lain
tanpa memimpin mereka. Tetapi, Anda tidak bisa memimpin orang lain tanpa
mencintai mereka.” Sekarang banyak pemimpin yang tidak peduli dengan
pengikutnya. Kita lihat realita sekarang. Semuanya jalan sendiri-sendiri.
Pemimpin sibuk dengan urusannya, dan pengikut pun sibuk mengurus kepentingannya
sendiri-sendiri. Dalam hal ini, saya teringat dengan ungkapan Profesor Syafi’i
Ma’arif, “Saya tidak tahu, apakah ada
pemimpin sekarang ini apa tidak.” Maksud statement beliau itu adalah hari ini pemimpin sudah tidak berfungsi
sebagaimana fungsi pemimpin yang sebenarnya. Pemimpin itukan semestinya
membimbing, menunjuki rakyat ke jalan yang benar, memperhatikan nasib rakyat
atau bawahannya, mengabdi dengan ikhlas untuk kepentingan rakyat, dan lain
sebagainya. Pendek kata, kewajiban pemimpin itu ialah melayani kepentingan
rakyat atau bawahannya, bukan minta dilayani.
Adakah saat ini pemimpin yang ideal menurut Anda?
Ada. Tetapi,
tidak banyak. Mencari pemimpin yang ideal dewasa ini seperti mencari barang
langka.
Melalui pemilukada langsung di banyak daerah saat ini, apakah tidak bisa
lahir pemimpin yang ideal?
Dalam pengamatan
saya, dari seratus persen hanya nol koma sekian persen pemimpin ideal yang lahir
dari sistem demokrasi yang bernama “pemilukada langsung” saat ini.
Mengapa?
Ya, seperti yang
saya jelaskan di atas. Banyak pemimpin yang muncul melalui pemilukada langsung saat
ini dengan cara-cara yang tidak benar. Banyak yang menang pemilukada dengan
cara curang, seperti praktek money
politics, penggelembungan suara, menggembosi suara kandidat lain,
intimidasi, mengumbar janji-janji manis, dan lain sebagainya.
Apa contohnya?
Contoh dan
buktinya, silakan Anda lihat sendiri. Banyak sengketa pemilukada di Mahkamah
Konstitusi (MK), persoalannya hanya seputar persoalan-persoalan yang demikian.
Siapa yang salah, menurut Anda, yang dipilih atau pemilih itu sendiri?
Kalau saya
melihat, bisa kedua-duanya.
Bukankah itu kesalahan rakyat sendiri yang mau memilih mereka?
Persoalannya
bukan itu saja. Begini, kita kan tahu, tingkat pendidikan politik masyarakat
kita masih rendah. Nah, semestinya, kandidat-kandidat yang bertarung di
pemilukada itulah yang seharusnya mendidik dan memberikan pencerahan politik
yang baik, bukan sebaliknya, membodohi pemilih dengan cara kotor, seperti
memberi uang, menjanjikan jabatan-jabatan tertentu, menjanjikan
pembangunan-pembangunan tertentu, dan lain sebagainya.Padahal, itu terkadang
hanya sebatas lip service (pemanis
bibir).Karena begini, perubahan atau transformasi sosial yang besar itu, dalam
sejarahnya, tidak pernah dimulai dari massa rakyat yang berjumlah besar, tetapi
selalu dimulai dari kelompok kecil elit, seperti elit intelektual, kaum
terdidik, elit agamawan, para nabi, dan
lain sebagainya. Nah, para kandidat, baik itu kandidat bupati, walikota,
gubernur, dan bahkan kandidat presiden sekalipun adalah bagian dari kelompok
elit. Semestinya, merekalah yang memulai perubahan sosial (social transformation) ke arah yang lebih baik. Bagaimana caranya?
Ya, mereka harus berpolitik secara baik berdasarkan moral dan etika politik. Merekalah
seharusnya yang memulai berdemokrasi secara baik. Bukan dari masyarakat awam.
Berarti, yang punya peran besar itu adalah para kandidat, termasuk
kandidat presiden, yang merupakan calon pemimpin itu sendiri?
Menurut saya,
iya. Merekalah yang seharusnya memberikan contoh berdemokrasi secara benar dalam
upaya mencari calon pemimpin yang baik.
Tapi, banyak kandidat yang berprilaku curang, bagaimana menurut Anda?
Ya, itulah yang
kita sayangkan. Meminjam istilah Professor Syafi’i Ma’arif, budaya politik kita
masih kumuh. Sehingga, yang lahir itu bukanlah pemimpin yang melayani, tetapi hanya
sebatas pejabat formal yang haus harta dan kekuasaan, gila hormat, tidak peduli dengan kepentingan orang banyak,dan
selalu minta dilayani. Mereka lupa diri dan lupa dengan rakyatnya. Padahal, mereka
itu dipilih oleh rakyat.
Sekarang, tidak sedikit yang mau jadi pemimpin tujuannya hanyalah untuk mencari kekayaan pribadi. Apa komentar Anda?
Ada sebuah
pepatah dalam bahasa Belanda, “Leiden is lijden.” (Memimpin adalah jalan menderita). Pemimpin adalah orang yang
kesepian.” Pepatah itu menunjukkan bahwa memimpin itu adalah sebuah amanah.
Dalam menjalankan amanah, tentu berbagai tantangan yang dihadapi pemimpin. Itulah
yang dimaksud memimpin itu adalah jalan menderita.
Pemimpin adalah orang yang kesepian. Apa maksudnya
itu?
Pemimpin itu tidak
punya teman atau keluarga. Artinya, ketika seseorang itu memimpin ia harus menghindarkan
praktik nepotisme. Nah, sekarang praktik ini termasuk hal yang sulit dihindarkan
oleh banyak pemimpin. Anda bisa lihat, kalau ayahnya jadi bupati, walikota, gubernur,
dan sebagainya, anaknya ikut-ikutan sibuk memanfaatkan kekuasaan ayahnya. Jadi ini,
jadi itu, ngurus ini, ngurus itu. Iya, kan?
Ha..ha..ha.. ya betul. Baiklah. Terakhir, closing statement dari Anda
Ya, siapa pun
yang menjadi pemimpin, baik itu di organisasi yang paling kecil seperti dalam
rumahtangga, masyarakat, maupun organisasi pada skala besar yang bernama “negara”,
janganlah menyalahgunakan kepemimpinan itu. Karena, baik-buruknya sebuah
organisasi sangat tergantung dengan peran pemimpin di dalamnya. Dan, yang tidak
kalah penting harus diingat adalah pesan Rasulullah, bahwa setiap kita adalah
pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya di hari kiamat
terhadap apa yang mereka pimpin. (NE)
0 komentar