Memimpin adalah Menderita
Selasa, 13 Agustus 2013
12.22 //
Oleh: YUDI LATIF
Leiden is lijden (memimpin adalah menderita). Kredo Agus Salim itu terasa otentik mewakili ketulusan zamannya. Segera terbayang penderitaan Jenderal Soedirman yang memimpin perang gerilya di atas tandu. Setabah gembala ia pun berpesan, "Jangan biarkan rakyat menderita,
biarlah kita (prajurit, pemimpin) yang menderita."
Zaman sudah terjungkir. Suara-suara
kearifan seperti itu terasa asing untuk cuaca sekarang. Kredo pemimpin hari
ini, "Memimpin adalah menikmati". Menjadi pemimpin berarti berpesta
di atas penderitaan rakyat. Demokrasi Indonesia seperti baju yang dipakai
terbalik: mendahulukan kepentingan lapis tipis oligarki penguasa-pemodal
ketimbang kepentingan rakyat kebanyakan (demos).
Banyak orang berkuasa dengan mental jelata; mereka tak kuasa melayani, hanya
bisa dilayani. Bagi pemimpin bermental jelata, dahulukan usaha menaikkan gaji
dan tunjangan pejabat; bangun gedung dan ruangan mewah agar wakil rakyat tak
berpeluh-kesah; transaksikan alokasi anggaran untuk memperkaya penyelenggara
negara dan partai; pertontonkan kemewahan sebagai ukuran kesuksesan; utamakan
manipulasi pencitraan, bukan mengelola kenyataan.
Cukup rakyat saja yang menanggung
beban derita. Biarkan rakyat Lebak, Banten, tetap hidup mengenaskan seperti
zaman Multatuli, terus meniti jembatan gantung Ciwaru yang reyot menantang
maut. Biarkan petani tergusur dan terbunuh oleh keculasan aparatur negara,
seperti kebiadaban pangreh praja yang menyerahkan tanah dan rakyatnya kepada
tuan-tuan perkebunan pada zaman tanam paksa. Biarkan rakyat di sekitar
pertambangan mengalami kerusakan ekologis, kehilangan penghidupan, dan
mengalami kelumpuhan sosial-budaya. Biarkan kekerasan agama berlangsung dengan
menoleransi segolongan pemeluk agama yang menikam kebebasan berkeyakinan
kelompok lain.
Seperti suasana kehidupan Nusantara pascaperang Jawa, kelas penguasa tersedot pusaran kolonialisme-kapitalisme, membiarkan rakyat hidup tanpa kepemimpinan. Rakyat yang menderita tanpa gembala menanti juru selamat. Maka, ketika Sarekat Islam muncul dengan pembelaannya terhadap kaum tani dan buruh yang terempas dan terputus, pemimpin utamanya, seperti Tjokroaminoto, sontak disambut sebagai ratu adil.
Seperti suasana kehidupan Nusantara pascaperang Jawa, kelas penguasa tersedot pusaran kolonialisme-kapitalisme, membiarkan rakyat hidup tanpa kepemimpinan. Rakyat yang menderita tanpa gembala menanti juru selamat. Maka, ketika Sarekat Islam muncul dengan pembelaannya terhadap kaum tani dan buruh yang terempas dan terputus, pemimpin utamanya, seperti Tjokroaminoto, sontak disambut sebagai ratu adil.
Sekarang, dari manakah sumber
kepemimpinan itu bisa diharapkan? Partai-partai politik bukanlah solusi,
melainkan sumber masalah. Bung Karno berkata, "Sebuah partai harus
dipimpin oleh ide, menghikmati ide, memikul ide, dan membumikan ide."
Adapun partai-partai hari ini dipimpin uang, menghikmati uang, memikul uang,
dan membumikan uang. Tak ada partai yang sungguh-sungguh memperjuangkan
aspirasi kolektif kewargaan demi kemaslahatan hidup bersama.
Partai-partai gagal melahirkan kepemimpinan organiknya yang menjadi artikulator kepentingan publik. Hubungan politik digantikan hubungan konsumtif. Politik mengalami proses konsumerisasi dan privatisasi. Dengan konsumerisasi, branding recognition lewat manipulasi pencitraan menggantikan kualitas dan jati diri. Dengan privatisasi, modal menginvasi demokrasi dengan menempatkan aku dan kami di atas kita yang menimbulkan penolakan atas segala yang civic dan publik.
Partai-partai gagal melahirkan kepemimpinan organiknya yang menjadi artikulator kepentingan publik. Hubungan politik digantikan hubungan konsumtif. Politik mengalami proses konsumerisasi dan privatisasi. Dengan konsumerisasi, branding recognition lewat manipulasi pencitraan menggantikan kualitas dan jati diri. Dengan privatisasi, modal menginvasi demokrasi dengan menempatkan aku dan kami di atas kita yang menimbulkan penolakan atas segala yang civic dan publik.
Kepentingan oligarki
penguasa-pemodal nyaris selalu dimenangkan ketika nilai kebajikan sipil dan
ideal kewargaan tak memiliki sarana yang efektif untuk mengekspresikan diri.
Ketika politik terputus dari aspirasi kewargaan, pemimpin tercerabut dari
suasana kebatinan rakyatnya. Pemimpin asyik meluncurkan album nyanyian
keberhasilan, sementara rakyat meratapi penderitaan.
Mereka lupa, tak ada kemajuan bangsa
tanpa pengorbanan kepemimpinan. Dari keterpurukan ekonomi Amerika Serikat,
begawan ekonomi Jeffrey Sachs menulis buku The
Price of Civilization (2011). Ia mengingatkan bangsa-bangsa lain agar tidak
meniru jalan sesat yang membawa kemunduran Amerika Serikat. Menurut Sachs, pada
akar tunjang krisis ekonomi AS saat ini terdapat krisis moral: pudarnya
kebajikan sipil di kalangan elite politik dan ekonomi. Suatu masyarakat pasar,
hukum, dan pemilu tidaklah memadai apabila orang-orang kaya dan berkuasa gagal
bertindak dengan penuh hormat, kejujuran, dan belas kasih.
Dalam pandangannya, setiap bangsa
yang ingin mencapai kemajuan harus siap membayar harga peradaban melalui
pelbagai perbuatan kepemimpinan dan kewargaan terpuji: tanggung jawab,
solidaritas, cinta kasih, dan keadilan bagi sesama dan bagi generasi mendatang.
Bagi pemulihan krisis AS, Sachs merekomendasikan perlunya meninggalkan
kecenderungan fundamentalisme pasar dengan memulihkan kembali peran negara yang
berjejak pada nilai kebajikan sipil (civic
virtues) dan jalan karakter Amerika (American
ways).
Bagi para pemimpin Indonesia, yang
menjadi epigon setia fashion Amerika, rekomendasi Sachs itu bisa menjadi dering
pengingat untuk menghidupkan kembali etos kepemimpinan pendiri bangsa. Tak ada
kemajuan tanpa jangkar moral. Pilihan-pilihan kebijakan politik dan ekonomi harus
dijejakkan pada nilai-nilai dasar Indonesia (Indonesia ways) yang menekankan kegotongroyongan dalam ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
Marilah berdoa menirukan munajat
para penjelajah bahari di kesilaman. "Ya Tuhan, selamatkan kami. Lautan di
Tanah Air ini luas dan ombaknya ganas menerjang. Bahtera kami oleng, sedang
nakhodanya mencari selamat sendiri!" (*)
YUDI LATIF
Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
Sumber: Kompas
0 komentar