Politik "Smabau"
Selasa, 06 Agustus 2013
13.49 //
Oleh: NANI EFENDI
Istilah “Politik Smabau” terdengar kocak di telinga orang yang memahami arti kata “smabau”. Kata “smabau” berasal dari bahasa Kerinci kuno. Istilah ini, dalam kehidupan masyarakat Kerinci, sudah jarang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Kosa kata ini juga tidak ditemukan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Oleh karenanya, sulit menemukan padanan kata “smabau” dalam bahasa Indonesia. Namun,
kata “smabau” dalam bahasa Kerinci dapat diartikan dengan “aksi atau tindakan
yang membabi buta; tindakan yang penuh emosional serta tidak didasari dengan
pertimbangan akal sehat atau pertimbangan yang rasional”. Terminologi atau
istilah “Politik Smabau” juga tidak ditemukan dalam literatur-literatur ilmu
politik modern maupun dalam kajian disiplin ilmu sosial politik (political and social science) di
perguruan tinggi. Oleh karena itu, istilah ini terdengar asing di telinga
publik. Istilah “Politik Smabau” hanyalah untuk menggambarkan political action (tindakan politik) yang
dilakukan oleh orang-orang yang berpolitik secara ceroboh dan membabi buta tanpa
memahami ilmu dan strategi politik secara ilmiah dan profesional.
Politik yang Emosional
Jadi, “Politik
Smabau” dapat diartikan dengan “berpolitik yang mengedepankan emosi dan syahwat
politik. Atau dapat juga berarti melakukan tindakan-tindakan atau manuver politik
secara membabi buta tanpa ada analisis secara rasional terlebih dahulu”. “Politik
Smabau” ini banyak muncul di kalangan masyarakat Kerinci saat ini, terutama pada
Pemilukada Kerinci 2013 dan Pemilu Legislatif. Istilah “Politik Smabau”
ini diperkenalkan pertama kali oleh salah seorang aktivis yang juga merupakan
salah satu tokoh muda Kerinci. Munculnya istilah “Politik Smabau” dikarenakan sulitnya
mencari istilah yang tepat dalam terminologi ilmu politik modern untuk
menyebutkan cara-cara berpolitik golongan ini. Orang yang berpolitik secara smabau disebut “Politisi Smabau”.
Mengapa “Politik
Smabau” terjadi? “Politik Smabau” terjadi karena kurangnya pemahaman dan
pengetahuan tentang politik secara ilmiah dan profesional. Dalam “Politik
Smabau”, sang kandidat—termasuk para simpatisan dan pengikutnya—tidak memahami
dunia politik praktis dengan benar. Mereka—sang kandidat dan tim pemenangannya—adalah
orang-orang yang minim pengetahuan dan pengalaman politik. Karena tidak paham
politik, mereka selalu bertindak ceroboh dalam berpolitik. Dalam bahasa Kerinci
disebut “srudu”. Golongan “Politisi
Smabau” juga tidak tahu apa yang semestinya diperbuat untuk memenangkan sang
kandidat pujaan mereka. Di samping itu, mereka juga sering saling menyalahkan
satu sama lain. Mereka tidak bisa diajak diskusi ilmiah. Mereka tidak
“nyambung” jika diajak diskusi ilmiah. Mereka tidak memiliki network atau jaringan politik yang luas.
Hal itu dikarenakan mereka tidak memahami komunikasi politik. Tim pemenangannya
hanya memiliki loyalitas dan semangat yang menggebu-gebu.
Golongan “Politisi
Smabau” adalah orang-orang yang tidak bisa diajak berpikir jernih untuk
memecahkan masalah. Golongan “Politisi Smabau”, pada dasarnya adalah tipe
orang-orang yang hanya bisa menerima instruksi, bukan tipe orang yang bisa
memberikan instruksi. Golongan ini bukanlah tipe leader atau pemimpin. Namun, mereka selalu ngotot untuk ikut dalam setiap
perbincangan kelompok kecil tim pemikir. Mereka selalu mau mendengar apa yang
diperbincangkan oleh sang kandidat pujaan mereka. Komunikasi politik mereka
sering “salah sambung”.
Politik Smabau, Analisis SWOT, dan Strategi Perang
SWOT
adalah singkatan dari strength, weakness, opportunity, and threat (kekuatan, kelemahan, peluang,
dan ancaman). Dalam tinjauan analisis SWOT, “Politik Smabau” hanya melihat
kekuatan (strength) dan peluang (opportunity), tetapi tidak menyadari
ancaman (threat) dan kelemahan (weakness). “Politisi Smabau” tidak mengenal
analisis SWOT. Sehingga, mereka tidak mengetahui titik lemah dan potensi
ancaman dari lawan-lawan politik. Padahal, politik itu identik dengan perang.
Oleh karenanya, ada istilah, “Perang
adalah politik yang berdarah. Sedangkan politik adalah perang yang tidak
berdarah.” Dalam perang, pengaturan strategi adalah hal yang pertama dan utama.
Tanpa strategi yang benar dan jitu, sebuah pasukan akan menderita kekalahan
demi kekalahan dalam setiap pertempuran. Senjata paling ampuh dalam berperang
adalah strategi. Oleh karena itu, banyak jenderal mempelajari strategi perang
pada buku The Art of War (Seni Berperang) karya Sun Tzu—seorang ahli
strategi perang bangsa China—yang ditulis kira-kira 2500 tahun yang lampau.
Strategi Sun Tzu digunakan oleh Jenghis Khan
di abad ke-13 dalam menaklukkan wilayah kekuasaannya mulai dari Mongol, China,
Siberia hingga mendekati Eropa. Napoleon, di masa mudanya membaca dan
mempelajari buku itu dari para rahib Jesuit yang menterjemahkannya dari bahasa
China di tahun 1782. Cara berpikir dan bertindak Mao Tse Tung (sang proklamator
Republik Rakyat China) juga sangat dipengaruhi strategi Sun Tzu, seperti
terlihat dalam Buku Merah Mao. Adolf Hitler juga mempelajari strategi perang Sun
Tzu, dan menggunakannya saat merebut Polandia dalam operasi “Blitzkrieg” yang
berlangsung 2 minggu. Di tahun 1991, dalam operasi “Desert Storm” dan “Desert Shield”
di kawasan Teluk, setiap anggota Marinir Amerika memiliki dan mempelajari buku
strategi perang Sun Tzu. Strategi itu terbukti tetap relevan walau telah
melewati rentang waktu 25 abad. Hal ini menunjukkan bahwa strategi itu adalah
hal yang sangat utama dalam perang. Namun anehnya, “Politisi Smabau” menganggap
strategi adalah sesuatu yang tidak penting.
Sun Tzu,
mengatakan, “Jika Anda mengenal diri dan
musuh Anda, Anda tidak akan pernah terkalahkan dalam seratus pertempuran
sekalipun.” Nah, untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan maupun kekuatan
dan kelemahan diri sendiri, maka analisis SWOT mutlak harus dilakukan. Politik
memang bukan ilmu pasti. Tetapi, politik juga tidak bisa dilakukan tanpa
didasari dengan analisis dan kajian-kajian ilmiah secara pasti dan rasional. Dunia
politik praktis itu penuh dengan intrik, strategi, dan tipu muslihat (trick). Oleh karena itu, tanpa kajian
dan analisis yang rasional, maka seorang politisi itu akan selalu terzalimi dan
dizalimi oleh lawan politiknya. Ali Bin Abi Thalib, mengatakan, “Kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan
oleh kebatilan yang terorganisir.” Jadi, walaupun tujuan baik, tetapi tidak
dilandasi dengan strategi yang jitu, serta tidak terorganisir dengan sempurna (well organized), maka tujuan yang baik
itu akan menjadi impian yang sulit untuk dicapai.
Oleh
karena itu, dalam politik haruslah difungsikan potensi akal (reason) secara maksimal dengan menyusun
strategi yang tepat demi mencapai sebuah tujuan mulia (sacred mission), yakni kesejahteraan rakyat (social welfare). Rasulullah SAW juga berpesan, “Siapa yang ingin
dunia, harus dengan ilmu. Siapa yang ingin akhirat, harus dengan ilmu. Dan,
siapa yang ingin keduanya, juga harus dengan ilmu.” Oleh karena itu, agar bisa berpolitik
dengan baik, seseorang itu juga harus menguasai ilmu politik secara benar. Di
samping itu, pendukung dan simpatisan yang berjumlah besar, yang selalu loyal
(setia) dalam berbagai hal, adalah modal utama bagi seorang politisi. Akan
tetapi, jika simpatisan yang banyak dan loyal itu tidak ter-manage (terkelola) dan terorganisir
dengan baik, ia tidak akan berarti apa-apa dalam percaturan politik. Ia tak
ubahnya seperti buih di lautan. Banyak, tetapi tidak punya arti apa-apa. Besar,
tetapi bisa dipermainkan oleh kelompok kecil orang yang terorganisir secara baik dan profesional.
Oleh
karena itu, ada sebuah ungkapan dalam bahasa Inggris, “Politic is luxury.” (Politik itu adalah barang mewah). Maksud
ungkapan ini adalah, bahwa tidak sembarangan orang bisa terjun ke dunia
politik. Artinya, untuk berpolitik, orang itu harus cerdas, berilmu, bermoral,
terlatih, dan sekaligus juga terdidik. Golongan “Politisi Smabau” tidak
memiliki syarat-syarat ini. “Politisi Smabau” tidak memahami dunia politik
modern. Mereka tidak terdidik (uneducated),
namun mereka sok tahu, dan berlagak memahami dunia politik. Mereka adalah
orang-orang yang baru mengenal politik dalam satu malam. Mereka tidak mau belajar
serta tidak pernah membaca buku maupun literatur-literatur politik. Mereka
tidak mempunyai pengalaman di dunia politik, namun tetap ngotot bahwa mereka
mampu berpolitik. Mereka juga tidak mempunyai pengalaman organisasi. Akibatnya,
manuver politik yang mereka lakukan sering menjadi boomerang yang merugikan
kepentingan politik mereka sendiri. Oleh karenanya, “Politisi Smabau” selalu menjadi
pecundang atau orang yang selalu kalah dalam percaturan politik.
NANI EFENDI
Pemerhati Sosial Politik, Tinggal di Jambi
“smabau” dalam bahasa Kerinci dapat diartikan dengan “aksi atau tindakan yang membabi buta
BalasHapus