Saya Mimpi Demokrasi dan Visi 2030
Minggu, 06 Oktober 2013
15.48 //
Oleh: Kwik Kian Gie
Ada dua ungkapan penting dari dua orang penting di negeri ini belakangan ini. Pertama, pidato pengukuhan Dr Boediono, Menko Perekonomian, sebagai guru besar pada Universitas Gajah Mada. Kedua, peluncuran buku Visi Indonesia 2030 oleh Yayasan Indonesia Forum. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggunakan kata 'mimpi' saat menyampaikan sambutannya pada acara Yayasan Indonesia Forum. Kepala Negara mengatakan, "kita tidak perlu malu bermimpi."
Setelah membaca buku visi tersebut, dalam tidur saya mimpi. Saya hidup dalam Kerajaan Mimpi dengan pendapatan nasional per kapita (PNPK) US$20.000. Maka negara itu demokrasinya sudah mantap.
Menurut sang guru besar yang baru, tetapi sudah lama mengurus negara dalam berbagai kapasitas, kalau pendapatan per kapita telah melampaui angka tertentu, demokrasinya sudah mantap. Dalam Kerajaan Mimpiku, pendapatan per kapita jauh melampaui angka yang disebutnya, karena sudah mencapai US$20.000.
Kerajaan Mimpiku sebuah kerajaan mutlak, dengan sang raja beserta seluruh keluarganya mempunyai kekuasaan absolut untuk berbuat apa saja. Maka sang raja membagi pendapatan nasional sebesar US$2 triliun itu kepada keluarga besarnya, yang terdiri dari 100 orang, sebesar US$1,5 triliun.
Sisanya, yang US$500 miliar, dibagikan kepada seluruh rakyat dikurangi 100 anggota keluarga besar raja, atau sebanyak 99.999.900 orang.
Pendapatan rata-rata 100 anggota keluarga kerajaan sebesar US$15 miliar per tahun, sedangkan rakyat yang berjumlah 99.999.900 orang, masing-masing memiliki pendapatan sebesar US$5.000 per tahun.
Dalam pidato pengukuhan Boediono, terdapat empat kalimat yang isinya sama, yaitu "pendapatan itu menyentuh dan dapat dinikmati oleh sebagian besar rakyat", yang olehnya diistilahkan "broad base." Nalarnya kira-kira begini. Kalau pendapatan setiap orang tinggi, jiwanya tentu juga matang dan sudah berpendidikan, maka bisa berdemokrasi atau menikmati kebebasan secara bertanggung jawab.
Itulah sebabnya, menurut sang mahaguru, pembagian pendapatan per kapita yang harus tinggi itu juga harus merata agar demokrasi bisa selamat.
Dalam Kerajaan Mimpiku, pendapatan per kapita memang tinggi, yaitu US$20.000, tetapi tidak dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Kaum ningrat menikmati pendapatan US$15 miliar, sedangkan mayoritas rakyat hanya US$5.000 per tahun.
Monarki mutlak
Itulah sebabnya di Kerajaan Mimpiku tidak ada demokrasi. Yang ada adalah monarki mutlak.
Saya kepingin demokrasi. Maka saya juga mengatakan hal yang sama.
Perdana Menteri Kerajaan Mimpiku mirip Bung Karno. Dia bertanya, "Bagaimana caranya memperoleh apa yang anda artikan dengan broad base?"
Ketika saya bengong, Perdana Menteri membuka sepatu dan kaos kakinya. Dia menunjuk jempol kakinya sambil mengatakan: "Dat weet mijn grote teen ook." Artinya, "Kalau ngomong-nya cuma begitu, jempol kakiku juga tau."
Tak lama kemudian, di Istana Presiden RI berkumpul sebagian kecil elite bangsa yang tergabung dalam Yayasan Indonesia Forum. Yayasan ini memberi perintah kepada perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian yang paling terkenal. Dikatakan bahwa pada 2030 bangsa Indonesia menjadi anggota lima besar ekonomi dunia.
Rakyat negeri ini dalam kondisi menganggur, miskin, kekurangan makanan dan pelayanan kesehatan yang paling mendasar. Mereka bertanya-tanya: "Bagaimana jalannya menuju ke sana." Sang Presiden mengatakan: "Jangan malu bermimpi."
Malam harinya saya bermimpi lagi. Ketika terbangun, saya meneruskan mimpiku dengan melamun. Betapa enaknya kalau menjadi orang kaya dengan pendapatan per kapita US$18.000 per tahun. Berbagai macam hal yang menyenangkan saya lakukan sambil tersenyum simpul.
Sayangnya, pada 2030 saya pasti sudah mati. Saya tersenyum lagi ingat kata-kata ekonom kondang John Maynard Keynes yang mengatakan "in the long run we are all dead."
Saya mendapatkan buku yang dibagikan di Istana Presiden berjudul Visi Indonesia 2030. Bagian terbesar dari nama yang tercantum di buku itu adalah nama-nama beken.
Berkeley Mafia
Tetapi ada banyak catatan kalau mereka mau merumuskan visi Indonesia 2030. Pertama, mereka bukan orang-orang yang mempunyai visi.
Sebagian dari mereka pedagang, yang lainnya lulusan universitas yang sepanjang karier hidup mereka adalah teknokrat yang miskin falsafah. Pekerjaan mereka teknokratik pragmatis. Tidak ada yang sekaliber Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Kedua, mereka berasal hanya dari satu mashab, yaitu liberalisme sejauh mungkin dan semutlak mungkin, yang di Indonesia dipelopori dan diemban kelompok Berkeley Mafia. Banyak di antaranya oleh orang Jerman disebut Fach Idioten.
Intinya, mereka mengunggulkan kekayaan alam. Sekarang pengelolaan kekayaan alam kita lebih dari 80% dilakukan oleh perusahaan asing.
Sebanyak 92% dari kekayaan migas kita dieksploitasi perusahaan asing yang mendapat bagian 40%, walaupun menurut formula bagi hasil hak mereka 15%. Sampai kini masih 40%, karena pelaksanaan ketentuan yang terkenal dengan istilah recovery cost harus diganti terlebih dahulu.
Bagaimana mengubahnya? Tidak perlu menurut salah seorang ekonom. Pemilikan oleh siapa tidak penting, yang terpenting adalah manfaatnya.
Lha ternyata sampai sekarang bangsa Indonesia hanya memperoleh manfaat 60%, itu bagaimana membalikkannya? Pengelolaan kekayaan alam juga sangat tidak transparan.
Dalam APBN pos pemasukan dari sumber daya alam nonmigas, hanya US$500 juta. Terus Freeport mengklaim bahwa setorannya kepada pemerintah Indonesia US$1 miliar per tahun. Memangnya US$1 miliar per tahun buat bangsa Indonesia dari Freeport sudah adil, dan karena itu kepemilikan tidak penting?
Untuk mewujudkan visi dan misi 2030 disebutkan: "Keseimbangan pasar terbuka dengan dukungan birokrasi yang efektif." Yang diartikan dengan istilah "keseimbangan pasar terbuka" itu apa?
Pasar terbuka ya menghasilkan survival of the fittest. Terus yang seimbang apanya dan bagaimana mewujudkannya?
"Perekonomian yang terintegrasi dengan kawasan sekitar dan global." Bisakah terjadi bahwa terintegrasinya berbentuk bangsa Indonesia yang di tengah pergaulan antarbangsa menjadi dan berfungsi sebagai kuli bagi bangsa-bangsa lain?
Bukankah sekarang sudah demikian? Lagi-lagi, bagaimana membalikannya?
Praktik korupsi yang begitu dominan dalam kemerosotan bangsa Indonesia dewasa ini sama sekali tidak disebut sebagai faktor penghambat utama.
Sudahlah, saya tidak perlu meneruskannya, karena keinginan Yayasan Indonesia Forum kan hanya mimpi? Kata "mimpi" juga tercantum dalam bukunya yang saya sebutkan tadi.
Saya lebih memilih yang lebih konkret ketimbang bermimpi, yaitu onani saja, karena lebih bisa dirasakan dan enak.
Kalau Presiden memang mau bervisi sampai 2030 untuk anak cucu kita, karena buat kita in the long run we are all dead, pakailah Bappenas yang memiliki sekitar 800 orang pegawai, yang 400 di antaranya sarjana, termasuk yang bergelar PhD. Dari jumlah itu, ada sekitar 75 orang PhD jebolan universitas yang bermutu tinggi dari seantero dunia.
Para sarjana di Bappenas sudah lama bekerja merumuskan visi sampai 2030. Sangat banyak kajian yang telah dirampungkan para sarjana di Bappenas, tetapi belum berani dipublikasikan, karena mereka ngeri ditertawai orang.
Di antara para sarjana itu, ada yang bertanya apa mungkin dan apa ada gunanya membuat visi sampai 2030? Ada yang bahkan mengatakan jangan-jangan Bappenas, yang ingin jadi think tank, akhirnya menjadi sinking tank kalau berani bermimpi sampai 2030.
Karena adanya kontroversi ini, berbagai produk Bappenas-yang jauh lebih bagus ketimbang Yayasan Indonesia Forum- masih ditahan. Ya memang begitulah manusia, semakin ada isinya semakin nunduk seperti padi yang sudah matang. Lain dengan tong kosong yang selalu nyaring bunyinya!
|
0 komentar